"Mungkin." Dia mengangkat bahu. Untuk sesaat, dia pikir mereka akan memaksanya, tetapi tatapan menyeramkan May menyeberang ruangan yang gelap sudah cukup untuk mengusir mereka.
Dalam kesunyian, Mariah mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan lambat menuju mobil tuanya, melindungi matanya dari pantulan sinar matahari yang rendah dari atap seng kios rokok di seberang jalan.
Bzzz.
Dtg y k hambra dng ai hrs dtg
"Sebodo," hardiknya.
Memutar kunci kontak, mesinnya tergagap. Sampai kemudian berhasil menyala dengan letusan knalpot, lalu mobilnya keluar dari tempat parkir yang berdebu dan terseok-seok melewati persimpangan.
Menendang pintu hingga tertutup dan meninggalkan kunci dan tas di meja kamar kontrakannya, Mariam ambruk ke atas kasur. Ketika dia bangun, pola sarung bantal yang kusut membekas di pipinya. Dia mengamati langit malam melalui jendela, mencari bulan segaris tapi gagal menemukannya.Â
Dia menyeret lengannya untuk menyalakan radio jam, hanya musik religi biasa yang didaur ulang dengan gaya berlebihan. Meraba-raba mencari ponselnya, mencolokkannya ke pengisi daya.
1 Ramadan menyambutnya.Â
Sebulan lagi Idul Fitri. Dia merindukan semuanya. Buka bareng. Mudik. Halal bihalal. Bagus.
Setidaknya dia tidak perlu bekerja selama akhir pekan.