Selalu sama setiap tahun. Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuh, tahu apa yang akan terjadi, tahu dia tidak berdaya untuk menghentikannya.
Dalam beberapa tahun terakhir dia mencoba melawannya, menghindrinya. Tapi sekarang, dia hanya ingin menyelesaikannya. Dia mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, dan terbungkuk-bungkuk ke kamar mandi.
Menatap cermin pada kantung di bawah matanya, pada garis-garis di wajahnya, pada garis rambut yang menipis, dan gigi yang menguning.
"Baiklah," katanya, "mari kita lakukan ini."
Saat itulah bayangannya menjangkau dari cermin dan meraihnya, menariknya ke sisi lain.
"Nah," kata bayangannya, "kita di sini lagi, kamu makhluk hina, sengsara, brengsek. Ini dia. Setiap tahun aku harap ini tidak perlu terjadi lagi, dan setiap tahun kamu mengecewakan ku."
Bayangannya meninjunya, membuat darahnya muncrat dan giginya rontok, menjatuhkannya ke tanah.
Dia tidak mencoba untuk bangkit.
"Baiklah anak-anak, ayo kita lakukan."
Dia tahu mereka semua ada di sana, tepat di luar penglihatannya, semua adalah dia.