Duduk di bar tidak berbeda dengan duduk di rumah. Duduk di bar tidak berbeda dengan duduk di rumah, kecuali mabuk. Duduk di bar tidak berbeda dengan duduk di rumah, tetapi dengan orang-orang. Duduk di bar tidak berbeda dengan duduk di rumah.
Ada orang lain yang duduk di rumah, di bar, yang pada akhirnya dia menangis.
Aku memperhatikannya. Penasaran. Dia menangis sampai hidungnya berwarna merah jambu. Dia tidak terlihat seperti tipe orang yang meminum sesuatu yang berwarna merah jambu, tidak juga terlihat seperti tipe wanita yang suka menangis.
Dia berbalik.
Dia mengeringkan ingus.
Dia berjalan ke arahku. Aku menoleh ke depan.
"Apakah kamu ingin meniduriku?" dia bertanya, cukup jelas untuk kudengar.
Dia meninggalkan minumannya di tempatnya.
Aku menatapnya, lalu pandanganku turun ke tangannya. Cat kukunya putih terkelupas.
"Tidak," kataku pada cat kuku yang terkelupas.
"Kamu lihat apa?" dia menuduh.
Aku mengangkat bahu. "Kamu menangis," kataku.
Aku menunggu, dia tidak menjawab. "Aku minta maaf," aku menambahkan.
Aku tidak tahu seperti apa wajahnya saat itu, karena aku tidak melihatnya. Aku hanya mendengar dia berkata, "Lebih buruk lagi."
"Itu lebih buruk," katanya, lagi.
Kemudian, dia pergi. Aku melihat ke sisa minumannya yang berwarna merah jambu. Aku tidak tahu apakah dia sudah membayarnya atau belum. Aku tidak tahu di mana bartender.
Aku berjalan ke sana dan meminumnya dalam satu tegukan. Tidak ada orang lain di bar yang peduli. Aku kembali ke tempat dudukku, bartender masih belum keluar.
Aku menghabiskan minumanku sendiri dan pulang.
Bandung, 25 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H