Wawancara
"Apa tujuan hidup Anda?"
"Menang."
"Menang?"
"Ya, berhasil membangun kerajaan bisnis."
"Saya mengerti. Tapi apa prinsip panduan hidup Anda?"
"Panduan hidup?"
"Nilai-nilai yang menjadi pegangan Anda."
"Maksudmu selain menang?"
"Ya."
"Untuk melakukan yang lebih baik setiap saat."
"Dengan cara apa?"
"Mencari keuntungan."
"Mengapa itu penting?"
"Itu berarti aku menang."
Jeda.
"Aku juga menyumbangkan banyak uang untuk amal."
"Mengapa?"
"Pengurangan pajak. Dan publikasinya bagus."
"Saya bisa melihat Anda lelah," kata pewawancara, mematikan alat perekamnya. "Kenapa kita tidak lanjutkan lagi besok?"
"Baiklah," kata lelaki tua itu, dan menutup matanya untuk terakhir kalinya.
Bandung, 25 Maret 2022
Telaga Air Mata
Devi menatap ke telaga air mata. Pantulan warna-warni yang berbeda. Palet emosi kehidupan: perpisahan yang menyedihkan, tangisan samar bayi baru lahir, abunya bertebaran terbawa angin. Kenangan pahit, terlalu pedih untuk dibagikan.
Menimba semuanya, dia menangis untuk tokoh di dalam kepalanya, untuk ksatria yang kalah dan pengantin yang menjadi janda. Dia menangisi leluhur yang terbaring di ruang bawah tanah yang runtuh dan berusaha membangkitkan mereka dengan penanya.
Namun ketika dia tergerak oleh kata-kata penyair yang telah lama mati, atau gemetar karena resonansi lagu yang menghantui, dia kembali ke telaga air mata rahasia dan keajaiban.
Beranikah dia membiarkan perasaan yang sebenarnya mengalir menjadi kata-kata?
Â
Bandung, 25 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H