Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 9)

24 Maret 2022   19:19 Diperbarui: 24 Maret 2022   19:26 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Teruslah menatapku seperti itu dan aku akan mencungkil matamu," Keti melipat tangannya di dada dan mencibir ke arah Janar.

Ubai mengeluarkan dengus tawa tertahan dan Ganbatar melemparkan tulang sayap ayam hutan ke Janar. "Dasar wandu. Perempuan tidak akan membunuh kau."

"Aku ... umh," Janar tergagap dan hanya menggelengkan kepalanya.

Resi Umbara bertepuk tangan berirama pelan dan melantunkan mantra. Yang lain terdiam dan memperhatikan lelaki tua itu. Mungkin mereka tidak percaya adanya para dewa, tetapi kelihatannya tidak ada yang mau mengambil risiko dimurkai mereka.

Tabib pandita itu memandang ke langit penuh bintang dengan mata menerawang.

"Tidakkah kalian melihatnya?" Dia menatap rekan-rekannya. "Apakah telinga kalian tidak mendengarnya?"

Janar menatap Keti dengan sembunyi-sembunyi dan menganggukkan kepalanya ke tabib pandita. Keti mengangkat bahu. Resi Umbara bertepuk tangan lebih keras saat dia melantunkan mantra dengan lebih cepat. Dia melihat ke langit dan merentangkan tangannya. "Apakah kalian tidak melihatnya? Para dewa menari di langit di atas kita!"

Para begal mendongak untuk melihat langit tak berawan dengan bintang-bintang berkelap-kelip tanpa terhalangi mega. Palupi menggaruk kepalanya bingung. Ubai mengangguk-angguk berjuang untuk tetap membuka matanya. Ganbatar mengangkat tangannya dan bergumam, "Orang tua, coba minta para untuk menunjukkan wajah musuh-musuhku yang masih bernyawa di Gurun Gobi."

Pandita peramu obat itu tertawa. "Lihat! Lihat mereka. Batara Wisnu di singgasananya. Betari Sri, Batara Kamajaya dan Betari Ratih sedang menari." Resi Umbara itu tiba-tiba berdiri dan berteriak membuat kaget Ubai yang sudah terpejam. "Surya, Bayu, Agni, Indra dan Baruna sedang membandingkan kekuatan mereka, berdebat tentang siapa di antara mereka yang paling kuat."

Resi Umbara menatap teman-teman seperjalanannya yang bingung. "Ah, sayang sekali. Andai saja mata batin kalian terbuka seperti mata saya, melihat apa yang saya lihat. Maka kalian akan sangat gembira. Tetapi jangan bersedih, mereka bersama kita semua. Kalian semua sedang melakukan kehendak para dewa."

"Oh ya?" Keti memutar matanya dengan sisnis. "Aku mau tidur. Besok adalah hari lain," sambungnya sambil meringkuk di samping api, di bawah selembar kain sebagai selimut.

Yang lain mengangguk setuju dan tak lama kemudian mereka semua tertidur lelap.

***

   Dalam perjalanan ke desa Bujung Tenuk, mereka melewati desa kecil di tepi sungai tempat Janar pertama kali berjumpa Keti. Pemukiman itu benar-benar terbakar habis. Bau daging terbakar memenuhi udara dan tulang-tulang kerangka manusia hangus tergeletak berserakan di tanah.

Gerombolan Keti turun dari kuda, ternganga dengan ngeri melihat sia-sia kekejaman di depan mereka.

Resi Umbara meraba manik-maniknya sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih. Palupi menutup mulutnya dan berjuang untuk menekan isi perutnya yang melonjak naik hingga ke tenggorokannya. Ubai menatap bingung. Kuku jari-jarinya menusuk telapak tangannya saat mengenggam membentuk kepalan tangan. Janar memegang kepalanya dengan dua tangan dan menggelengkan kepalanya.

Desa kecil itu sudah berubah menjadi desa hantu. Tidak terdengar suara makhluk hidup. Tidak ada kicau burung atau salak anjing. Tidak ada satu manusia pun yang meratapi kehilangan orang-orang yang tewas.

Keti berjalan dalam diam dan berhenti untuk melihat dua kerangka saling berpegangan. Mereka dibakar sampai mati. Dia mentapa ke tanah dan tahu dia pernah berada di posisi yang sama sebelumnya.

Di sini dia memberi anak-anak itu roti saat pertama kali sampai di desa itu. Dia melihat mayat mereka dan ingatan terlontar kembali ke desanya yang dibantai. Kenangan masa silam yang paling kelam membanjiri pikirannya.

Pembantaian di depan matanya semakin memicu tekadnya untuk menghentikan Sang Raja.

Dia menggertakkan giginya dengan geram ketika melihat sebatang tombak mencuat dari tanah dengan kepala seorang anak di ujungnya. Resi Umbara berdiri di sampingnya dan menggumamkan doa pendek.

"Di mana para dewa ketika ini terjadi?" Keti mendesis marah.

Pandita tua itu mengabaikannya dan menatap mayat-mayat itu dengan sedih. "Tidak ada yang berhak menanyakan kebijakan para dewa. Para dewa memilih untuk menyelamatkan siapa pun yang mereka inginkan. Tapi kini mereka benar-benar terjaga. Mereka bekerja melalui persekutuan kita ini. Mereka menyatukan kalian semua."

Keti mendengus dan berjalan kembali ke kudanya.

"Di sini!" Ganbatar berseru. Mereka bergegas menemuinya. Raksasa itu menunjuk seorang wanita yang berdeguk sambil batuk memuntahkan darah. Dua ujung anak panah mencuat dari perutnya.

Dia menatap langit dengan tatapan hampa. Tangannya menggapai di udara saat dia menggumamkan sebuah nama berulang kali. Mungkin nama anaknya.

"Kamu tidak punya apa-apa yang bisa menyelamatkannya?" tanya Palupi pada Resi Umbara.

"Hanya ada satu cara yang bisa menenangkannya," kata lelaki tua itu sambil menatap wajah mereka satu per satu dengan sedih.

Keti mengangguk perlahan, lalu memasang anak panah ke tali busurnya.

"Beristirahatlah dengan tenang," gumamnya, membidik dan melepaskan anak panah.

 

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun