Resi Umbara menatap teman-teman seperjalanannya yang bingung. "Ah, sayang sekali. Andai saja mata batin kalian terbuka seperti mata saya, melihat apa yang saya lihat. Maka kalian akan sangat gembira. Tetapi jangan bersedih, mereka bersama kita semua. Kalian semua sedang melakukan kehendak para dewa."
"Oh ya?" Keti memutar matanya dengan sisnis. "Aku mau tidur. Besok adalah hari lain," sambungnya sambil meringkuk di samping api, di bawah selembar kain sebagai selimut.
Yang lain mengangguk setuju dan tak lama kemudian mereka semua tertidur lelap.
***
  Dalam perjalanan ke desa Bujung Tenuk, mereka melewati desa kecil di tepi sungai tempat Janar pertama kali berjumpa Keti. Pemukiman itu benar-benar terbakar habis. Bau daging terbakar memenuhi udara dan tulang-tulang kerangka manusia hangus tergeletak berserakan di tanah.
Gerombolan Keti turun dari kuda, ternganga dengan ngeri melihat sia-sia kekejaman di depan mereka.
Resi Umbara meraba manik-maniknya sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih. Palupi menutup mulutnya dan berjuang untuk menekan isi perutnya yang melonjak naik hingga ke tenggorokannya. Ubai menatap bingung. Kuku jari-jarinya menusuk telapak tangannya saat mengenggam membentuk kepalan tangan. Janar memegang kepalanya dengan dua tangan dan menggelengkan kepalanya.
Desa kecil itu sudah berubah menjadi desa hantu. Tidak terdengar suara makhluk hidup. Tidak ada kicau burung atau salak anjing. Tidak ada satu manusia pun yang meratapi kehilangan orang-orang yang tewas.
Keti berjalan dalam diam dan berhenti untuk melihat dua kerangka saling berpegangan. Mereka dibakar sampai mati. Dia mentapa ke tanah dan tahu dia pernah berada di posisi yang sama sebelumnya.
Di sini dia memberi anak-anak itu roti saat pertama kali sampai di desa itu. Dia melihat mayat mereka dan ingatan terlontar kembali ke desanya yang dibantai. Kenangan masa silam yang paling kelam membanjiri pikirannya.
Pembantaian di depan matanya semakin memicu tekadnya untuk menghentikan Sang Raja.