Dia menggertakkan giginya dengan geram ketika melihat sebatang tombak mencuat dari tanah dengan kepala seorang anak di ujungnya. Resi Umbara berdiri di sampingnya dan menggumamkan doa pendek.
"Di mana para dewa ketika ini terjadi?" Keti mendesis marah.
Pandita tua itu mengabaikannya dan menatap mayat-mayat itu dengan sedih. "Tidak ada yang berhak menanyakan kebijakan para dewa. Para dewa memilih untuk menyelamatkan siapa pun yang mereka inginkan. Tapi kini mereka benar-benar terjaga. Mereka bekerja melalui persekutuan kita ini. Mereka menyatukan kalian semua."
Keti mendengus dan berjalan kembali ke kudanya.
"Di sini!" Ganbatar berseru. Mereka bergegas menemuinya. Raksasa itu menunjuk seorang wanita yang berdeguk sambil batuk memuntahkan darah. Dua ujung anak panah mencuat dari perutnya.
Dia menatap langit dengan tatapan hampa. Tangannya menggapai di udara saat dia menggumamkan sebuah nama berulang kali. Mungkin nama anaknya.
"Kamu tidak punya apa-apa yang bisa menyelamatkannya?" tanya Palupi pada Resi Umbara.
"Hanya ada satu cara yang bisa menenangkannya," kata lelaki tua itu sambil menatap wajah mereka satu per satu dengan sedih.
Keti mengangguk perlahan, lalu memasang anak panah ke tali busurnya.
"Beristirahatlah dengan tenang," gumamnya, membidik dan melepaskan anak panah.
Â