Dia pernah berpose berani untuk kalender. Bulan Juli dengan seikat mawar merah muda ditempatkan secara strategis.
Aku bertanya-tanya apakah ada arti penting warna tersebut.
Tato yang sudah kukenal karena aku sudah pernah bertemu Mei di gym. Aku tersandung buku catatannya dan mengirim benda itu ke bawah treadmill.
"Maaf."
Aku membungkuk dan memasukkan tanganku ke bawah ban berjalan, merasakan bulu-bulu sebelum bertemu dengan sampulnya yang keras. Menarik keluar dan meniup debu.
"Terima kasih. Salahku karena membiarkannya tergeletak begitu saja," katanya, melepas earphone dan mengambil benda itu.
"Aku tak bisa pergi ke mana pun tanpa buku catatan dan pena."
Dia tersenyum dan hendak naik ke mesin dayung.
"Mahiwal," kataku sambil menyodorkan tangan. Dia berhenti mendayung.
"Meilani." Dia mengulurkan tangannya. Saat itulah aku melihat treble clef dan not musik menari di pergelangan tangannya.
"Senang bertemu seseorang yang mau diajak bicara. Rata-rata di sini orangnya kurang ramah."
Aku melihat sekeliling ruangan menatap punggung belakang orang-orang yang asyik dengan sistem kardiovaskular mereka. "Kamu musisi?"
"Bukan," dia melihat ke bawah. "Oh! Aku mengerti. Tidak, aku seorang pemusik kata-kata."
Aku pasti terlihat bodoh karena dia melanjutkan.
"Aku seorang penyair."
"Aku pikir mereka semua mati dalam perang merebut kemerdekaan." Mulutku memang suka melepaskan humor yang tak lucu.
"Korban sakit hati karena tugas menulis puisi di SMA dulu?"
"Aku tak pernah menikmati pelajaran bahasa Indonesia. Membosankan. Yang mengajar perawan tua dengan bibir mengerucut dan terlalu banyak eau de cologne. Yang bisa kuingat hanyalah Pujangga Baru dan Chairil Anwar 'aku ini binatang jalang'."
"Setidaknya kamu masih ingat."
Sesuatu di matanya yang menghentikanku untuk pergi pada saat itu. Warnanya cokelat kehijau-hijauan menyala-nyala dengan antusiasme yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bersinar dengan penuh semangat.
"Aku harus melatih otot," kataku sambil menunjuk pelatih yang mendekat.
"Aku juga," dia duduk di mesin dayung dan memasang kembali earphone-nya.
Aku melihatnya diam-diam melalui cermin. Otot-ototnya halus dan rambut keriting gelap. Aku melihat kilasan bingkai tubuh kurusku yang terpantul. Tak pernah sekali pun dia melihat ke arahku, seakan-akan sedang berkayuh melintasi danau yang luas dalam imajinasinya.
Aku melakukan pencarian nama penyair lokal, tetapi tidak mengetahui nama penanya, jadi aku tak mendapatkan apa-apa.
Ada secercah harapan.Â
Komunitas menulis bertemu di sebuah kafe pada hari Jumat pertama setiap bulan. Aku memeriksa kalender dan menyimpan di ponsel. Akhirnya setelah makan camilan, aku membayar tagihan dan duduk dengan selembar kertas kosong di hadapanku.
Tidak pernah menulis sesuatu yang kreatif sejak tamat SMA.
Aku melihat ke sekeliling ruangan dan menahan godaan untuk memilah-milah puing-puing dari kepindahanku baru-baru ini. Fokus pada kertas itu. Mengambil pena hitam. Tidak ada ide sama sekali.Â
Dalam keputusasaan, aku menulis 'Mei'.
Aku mencari artinya di internet: Bulan ke lima kalender Gregorian. Nama Cina, Rusia, Italia, atau Estonia. Mungkin diambil dari Dewi Maia.
Satu judul muncul di kepalaku.
Balada Rahasia Bulan Mei.
Aku merobek-robek kertas itu. Selembar kertas yang kesepian dan terluka.
Aku tersenyum bodoh. Meremasnya menjadi bola dan melontarkannya ke dalam keranjang sampah. Meleset.
Timbul ide untuk mencari penyair masa lalu yang kurang terkenal di internet ketika telepon berdering. Ibuku bertanya apakah aku sudah makan siang.
"Bagaimana dengan praktik dokter hewan?" Aku suka cara ibu mengucapkan kata-kata itu.
"Baik! Kemarin mengoperasi usus buntu seekor kucing Persia. Tiga jam tetapi tampaknya dia akan selamat. bagaimana kabar di rumah?"
"Bagus. Hanya obat asma Ibu hampir habis."
"Baiklah, nanti kusuruh apotek mengirimkan untuk Ibu. Aku khawatir-"
"Tidak usah. Bagaimana denganmu? Punya teman baru?"
"Lumayan capek. Aku sangat sibuk, tetapi aku akan pergi ke grup menulis pada hari Jumat." Keceplosan.
"Keren. Tapi jangan pernah percaya pada seorang penyair."
"Mengapa Ibu bilang begitu?"
"Bercanda. Ingat Mary Shelley dan Lord Byron?"
"Siapa?"
"Beri tahu bagaimana kelanjutan pertemuanmu nanti. Ini ayahmu mau bicara..."
Aku bertanya-tanya mengapa aku memberi tahu ibu bahwa aku akan pergi. Posisiku menjadi sulit.Â
Aku harus menulis sesuatu, betapapun buruknya itu.
Aku membeli notebook murah dan pena. Dalam bus menuju tempat kerja, aku melihat iklan pameran foto di perpustakaan wilayah. Aku mencatatnya untuk acara hari libur.
***
Aku berdiri dan mengagumi gambar seekor kerbau sedang berkubang dengan latar belakang langit matahari terbenam. Saking fokusnya, aku mundur dan menabrak seseorang.
"Tahan."
"Maaf." Aku berputar.
"Halo," sapaku sambil tersenyum. Agak terkejut juga menyadari betapa senangnya aku melihatnya, seperti anak SMA bertemu pujaannya.
Mei membalas senyumanku. "Coba lihat foto itu," katanya, menunjuk ke dinding yang berlawanan. "Bagaimana menurutmu?"
Dia minggir dan memperlihatkan foto dirinya terbaring di atas seprai putih, seikat mawar merah muda yang ditempatkan secara strategis.
Aku merasa jengan tapi tertarik pada gambar itu.
"Aku sebetulnya gugup berpose seperti itu, tetapi karena untuk kalender amal untuk menggalang dana bagi penderita kanker payudara...."
"Alasan yang bagus. Aku rasa malaikat juga maklum." Aku berharap suaraku terdengar jujur.
"Mudah-mudahan."
Ada jeda panjang dan aku tak tahu harus berkata apa. "Not musik di lenganmu tambah lagi."
"Ini obatku untuk mengatasi writer's block. Ada sesuatu tentang rasa sakit, getaran jarum, tinta. Apa yang membawamu kemari?"
"Aku mencoba menulis puisi. Baru sampai pada judul: Balada Rahasia...." Aku tergagap. "Aku pikir pameran ini memberiku inspirasi."
"Kamu terinspirasi dengan ini?" Dia tersenyum sambil menunjuk fotonya.
"Mungkin..."
"Kopi kalau begitu?"
Bandung, 21 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H