"Aku juga," dia duduk di mesin dayung dan memasang kembali earphone-nya.
Aku melihatnya diam-diam melalui cermin. Otot-ototnya halus dan rambut keriting gelap. Aku melihat kilasan bingkai tubuh kurusku yang terpantul. Tak pernah sekali pun dia melihat ke arahku, seakan-akan sedang berkayuh melintasi danau yang luas dalam imajinasinya.
Aku melakukan pencarian nama penyair lokal, tetapi tidak mengetahui nama penanya, jadi aku tak mendapatkan apa-apa.
Ada secercah harapan.Â
Komunitas menulis bertemu di sebuah kafe pada hari Jumat pertama setiap bulan. Aku memeriksa kalender dan menyimpan di ponsel. Akhirnya setelah makan camilan, aku membayar tagihan dan duduk dengan selembar kertas kosong di hadapanku.
Tidak pernah menulis sesuatu yang kreatif sejak tamat SMA.
Aku melihat ke sekeliling ruangan dan menahan godaan untuk memilah-milah puing-puing dari kepindahanku baru-baru ini. Fokus pada kertas itu. Mengambil pena hitam. Tidak ada ide sama sekali.Â
Dalam keputusasaan, aku menulis 'Mei'.
Aku mencari artinya di internet: Bulan ke lima kalender Gregorian. Nama Cina, Rusia, Italia, atau Estonia. Mungkin diambil dari Dewi Maia.
Satu judul muncul di kepalaku.
Balada Rahasia Bulan Mei.