Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hutan dalam Istana

20 Maret 2022   17:17 Diperbarui: 20 Maret 2022   17:18 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anda semakin lemah, Yang Mulia," kata wajah rusak Binsarkuni, sementara para pelayan memasangkan baju zirah berkarat ke tubuh Welbehgeduwel yang lemah. "Dan kelemahan akan menyebar ke seluruh kerajaan, seperti yang selalu terjadi di masa lalu. Ketika api darah bangsawan tidak dapat menandingi kebiadaban musuh musim kemarau kita, kita rentan. Anda tahu benar ini."

Welbehgeduwel mengangguk, lehernya sakit. Zirahnya menggantung seperti kain kafan. Dia berbicara dengan timbre yang rusak.

"Aku akan pergi ke Taman Musim Banjir," katanya. "Akan kubuktikan bahwa aku bisa menanggung kemalangan terburuk Swidalorro. Atau ambil tempatku di antara cabang-cabang terlemah keluargaku."

Binsarkuni membungkuk dan berdiri kembali. Para hamba pelayan membuka pintu dan selasar yang diselimuti asap kabut.

Welbehgeduwel melangkah ke dalam hujan saat pintu terkunci di belakangnya dengan desisan angin dingin. Udara keras menembus zirah kulit musim hujannya yang usang dan masuk ke dalam darah merah bangsawannya saat dia menghadapi Taman Musim Banjir. Dia melangkah ke dalam kesunyian mencekam, nyeri karena kemegahan yang mengerikan: sepetak hutan terbakar yang akarnya menyentuh jantung dunia bawah, tidak berubah di musim apa pun, dan lebih dingin dari air mata pelacur.

Pohon-pohon cokelat pucat di depannya diam seperti tiang-tiang nirwana. Di atas, kabut asap hitam menyembunyikan secercah cahaya bintang.

Sepatu kulit pembalap GP500-nya yang lembut membuat jejak di tanah. Napas merobek giginya yang tipis, berembun ke udara. Jalan tikus di antara pepohonan itu gelap. Selalu. Di sana terbentang penjara abadi dari kerabatnya yang paling lemah.

Dia masuk, menyalakan satu lilin sesuai yang diizinkan untuk menerangi, tetapi bukan untuk memberi kehangatan. Kegelapan yang lebih dalam menelannya sebelum dunia yang menghitam seperti jelaga.

Berkedip-kedip, lilin menyala melawan hawa dingin, seperti anak kecil yang melawan musuh yang tak terlihat dan tak terkalahkan.

Sepatu kulit Welbehgeduwel mengikuti jejak para leluhurnya. bangsawan kerajaan yang lemah tanpa kecerdasan atau kerupawanan, tetapi bertahan tujuh tahunan. Lilin tidak lagi berkedip. Angin mati. Tapi di depan, dahan pohon bergoyang.

Jiwa anggota keluarga yang hilang. Wajah mereka adalah potret beku rasa sakit, penderitaan, dan kesedihan. Tidak ada yang tenang, hanya akhir yang aneh dan menyiksa.

Welbehgeduwel melangkah dengan kaki gontai, suara angin pahit berbisik dari bibir yang tersiksa.

"Kebohongan telah membawa kami ke tiang gantungan."

"Tubuh lemah tetapi jiwa tersiksa."

"Kebohongan kita lebih kejam dari anggota tubuh seribu anjing istana."

"Kita adalah tawanan dari pengkhianatan oleh orang-orang biadab kawanan kita sendiri."

Welbehgeduwel menoleh ke belakang. Pintu ke istana  terkunci mati. Tidak ada jalan kembali. Banjir seleher dan asap hitam hutan terbakar akan mengambilnya seperti yang lainnya di taman banjir terkutuk ini.

Sebuah jerat menunggunya di ujung lorong, lebih melegakan dari rasa sakit yang menyiksa karena kebohongan. Angin melolong dan badai puting beliung membutakan dan hampir mematikan lilinnya. Dia menutupi nyala api. Dan membuat keputusan.

Sebuah keputusan kerajaanyang berakar pada pengorbanan, tidak mementingkan diri sendiri dan kepedulian terhadap orang lain, bukan tahtanya yang berduri.

"Yang lemah bukanlah yang terkutuk," bisiknya. Napas meninggalkannya seperti arwah prajurit di tanah terlarang.

"Bergantung di sini adalah seniman, penyair, dan filsuf, ahli strategi dan insinyur, yang jasa-jasanya dicekik oleh ketakutan yang mendominasi kerajaan yang tenggelam. Meskipun aku mungkin terkutuk juga, aku takkan membiarkan penderitaan rakyatku berlanjut."

Banjir mulai masuk lebih dalam ke dalam tenggorokannya, menyentuh tengkoraknya, dan dia tahu kegilaan menunggu jika dia tidak segera bertindak.

Welbehgeduwel memanjat batang pohon tertinggi. Menggigit lilin dengan giginya, nyalanya melambai-lambai  bagai bintang sekarat, sampai dia mencapai cabang-cabang lapuk tertinggi.

Dia menusuk jarinya dengan duri pohon, dan membiarkan darah bangsawannya yang hangat jatuh ke lilin., membuatnya menyala dua kali lebih terang. Nyala api membakar jerat dari tempat bertenggernya yang lapuk.

Dia merangkak di cabang-cabang yang berbahaya. Tubuhnya yang lemah ringan seperti daun kering.

Kembali menetskan darahnya ke nyala lilin, sebuah bintang merah membakar jalinan kencang yang membelenggu kerabat. Mereka jatuh ke tanah, tubuh pecah menjadi debu saat mereka menyentuh bumi.

Welbehgeduwel melambat, tetapi dia melawan hawa dingin yang mematikan sampai mayat-mayat itu berkumpul di bawah kanopi hutan Taman Musim Banjir.

Dia mengiris pergelangan tangannya yang beku, dan uap beterbangan saat darah mengalir.

"Aku mungkin dirantai di sini," katanya. "Terkutuk oleh tanganku sendiri. Tetapi dengan pengorbananku, kalian semua harus bebas."

Saat darah hangat menyebar ke seluruh tubuh kerabatnya yang jatuh, uap naik. Udara dingin membekukan darahnya, lilin jatuh, dan cuaca musim banjir merenggutnya...

... tapi tidak sebelum api unggun kebebasan meledak seperti meriam yang menderu, menembus atap cabang-cabang biru dan kanopi pucat kabut hitam hutan, tumpukan kayu pemakaman yang mengguncang fondasi istana, menguapkan banjir menjadi awan hujan yang memadamkan kebakaran hutan.

Mata air merah datang ke Taman Musim Dingin. Hantu-hantu yang telah dibebaskannya menyanyikan namanya untuk bintang-bintang yang kembali, saat cahayanya sendiri padam, saat pintu ke istana terbuka, dan api menyebar ke dalam dengan kemarahan hantu yang sekarang terbebas dari rantai belenggu mereka. 

Bandung, 20 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun