Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hutan dalam Istana

20 Maret 2022   17:17 Diperbarui: 20 Maret 2022   17:18 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir mulai masuk lebih dalam ke dalam tenggorokannya, menyentuh tengkoraknya, dan dia tahu kegilaan menunggu jika dia tidak segera bertindak.

Welbehgeduwel memanjat batang pohon tertinggi. Menggigit lilin dengan giginya, nyalanya melambai-lambai  bagai bintang sekarat, sampai dia mencapai cabang-cabang lapuk tertinggi.

Dia menusuk jarinya dengan duri pohon, dan membiarkan darah bangsawannya yang hangat jatuh ke lilin., membuatnya menyala dua kali lebih terang. Nyala api membakar jerat dari tempat bertenggernya yang lapuk.

Dia merangkak di cabang-cabang yang berbahaya. Tubuhnya yang lemah ringan seperti daun kering.

Kembali menetskan darahnya ke nyala lilin, sebuah bintang merah membakar jalinan kencang yang membelenggu kerabat. Mereka jatuh ke tanah, tubuh pecah menjadi debu saat mereka menyentuh bumi.

Welbehgeduwel melambat, tetapi dia melawan hawa dingin yang mematikan sampai mayat-mayat itu berkumpul di bawah kanopi hutan Taman Musim Banjir.

Dia mengiris pergelangan tangannya yang beku, dan uap beterbangan saat darah mengalir.

"Aku mungkin dirantai di sini," katanya. "Terkutuk oleh tanganku sendiri. Tetapi dengan pengorbananku, kalian semua harus bebas."

Saat darah hangat menyebar ke seluruh tubuh kerabatnya yang jatuh, uap naik. Udara dingin membekukan darahnya, lilin jatuh, dan cuaca musim banjir merenggutnya...

... tapi tidak sebelum api unggun kebebasan meledak seperti meriam yang menderu, menembus atap cabang-cabang biru dan kanopi pucat kabut hitam hutan, tumpukan kayu pemakaman yang mengguncang fondasi istana, menguapkan banjir menjadi awan hujan yang memadamkan kebakaran hutan.

Mata air merah datang ke Taman Musim Dingin. Hantu-hantu yang telah dibebaskannya menyanyikan namanya untuk bintang-bintang yang kembali, saat cahayanya sendiri padam, saat pintu ke istana terbuka, dan api menyebar ke dalam dengan kemarahan hantu yang sekarang terbebas dari rantai belenggu mereka. 

Bandung, 20 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun