Penjahit mengundangnya masuk, mengambil kimono yang terlipat dari tikar buluh, dan membentangkannya di depan matanya.
"Selamat, turut bahagia."
Ayano terdiam. Jam dinding berdetak seirama dengan denyut jantungnya.
"Terima kasih," gumamnya dengan senyum sekilas. Namun, wajahnya menjadi gelap. "Itu yang dikatakan semua orang. Bahagia . Apa itu kebahagiaan? Kamu tahu? Untuk menyenangkan ayahku? Meningkatkan kekayaannya dengan menikahkanku?"
"Entahlah, Nona." Apakah gadis ini tidak menginginkan pernikahannya sendiri?
"Permisi," Ayano tampak pasrah.
Dia berdiri di belakang penyekat. Nyala lilin menari-nari di atas meja di dekatnya, memainkan bayangan wanita muda itu di sepanjang dinding kertas. Gemerisik pakaiannya yang jatuh memenuhi ruangan yang sunyi.
Mengenakan gaun pengantinnya, dia berjalan ke pintu.
Penjahit itu tersentak bukan hanya karena kecantikan wanita muda itu membuatnya tergerak. Tapi karena sinar mata Ayano menyala seperti hutan terbakar.
"Nona Ayano, Nona mau ke mana?" Suara penjahit itu bergetar.
Gadis muda itu menghilang ke udara, kimononya perlahan jatuh ke tanah bagai kelopak bunga sakura.