Mereka semua terdiam, terguncang oleh berita itu. Keti ingat apa yang dilihatnya di desa terakhir yang dia kunjungi. Anak-anak kurus kering tinggal kulit pembalut tulang dan kondisi penduduk yang mengerikan. Persis seperti yang digambarkan oleh Panglima Rakyan Gardapati.
"Aku mengerti maksudmu," katanya menanggapi Sang Panglima. Aku sudah melihat sebuah desa yang diserang wabah penyakit. Pemandangan yang mengerikan untuk dilihat oleh siapa pun. Jika menyebar ke desa-desa lain, maka ...," dia terdiam sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku masih tidak mengerti. Apa hubungannya dengan kita?" tanya Ubai.
"Kalian punya tugas untuk dijalankan," jawab Rakyan Gardapati. "Baginda Raja, juga sebagian besar bangsawan, percaya bahwa kita telah membuat para dewa marah. Mereka percaya bahwa kita telah dihukum dan dijauhkan dari karunia dan belas kasihan dewa-dewi, dan ini adalah cara mereka untuk menghukum kita. Para brahmana juga yakin bahwa para dewa tidak senang dengan kita. Mungkin mereka benar. Kita telah menjadi lupa diri dalam pemyembahan dan pemujaan kita. Para pandita brahmana percaya bahwa pengorbanan adalah satu-satunya hal yang akan melunakkan hati dewa-dewi. Kita telah mmempersembahkan hewan-hewan ternak yang gemuk dan sehat, buah-buahan dan tanaman hasil panen terbaik, tetapi tidak berhasil. Wabah terus menjalar. Aku tidak tahu siapa yang membisikkan hali ini dalam ke telinga Raja, atau dia sendiri yang menciptakannya, tetapi baginda sepenuhnya yakin bahwa kita harus memberikan pengorbanan manusia. Bukan satu atau selusin tapi banyak, satu kali upacara berlaku untuk seluruh desa. Dia percaya roh mereka akan meredakan kemarahan para dewa dan bahwa semakin banyak yang dikorbankan, tidak diragukan lagi akan membuktikan pengabdian kita kepada para dewa."
"Sungguh keterlaluan!" seru Janar. "Dia memang sudah gila!"
Keti menggelengkan kepalanya dengan jijik.
Dewa? Dewa apa? Kita telah mengecewakan mereka? Di mana mereka ketika rumahku hancur? Di mana mereka ketika ibu dan ayuku dirudapaksa? Mengapa para dewa tidak menghukum Raja yang tidak adil di singgasananya? Terkutuklah para dewa. Aku menempuh jalan dan keberhasilan dengan tangan dan kakiku sendiri, dia berkata dalam hati.
Rakyan Gardapati menghela nafas. "Ini sungguh-sungguh keterlaluan. Baginda telah mengutus pasukan berkuda kerajaan untuk membakar desa-desa yang tercemar wabah. Aku masih bisa memaklumi jika hanya satu-dua orang yang terkena yang dibersihkan. Tapi baginda bersikeras bahwa adanya yang sakit merupakan isyarat para dewa telah memilih siapa yang mereka inginkan sebagai korban. Jika satu orang kena, maka seluruh warga sekitarnya juga dikutuk."
"Aku tidak tahu apakah Baginda bodoh atau gila," kata Palupi.
"Jadi kita membunuh Raja? Aku suka tantangan ini," Ganbatar menyeringai sambil menjentikkan jari.
"Tidak!" suara Rakyan Gardapati menggelegar. "Belum. Aku telah berbicara dengan para tabib pandita. Mereka mungkin bisa memberikan tanaman obat penyakit penyebab wabah, tapi mereka butuh waktu. Mereka butuh waktu untuk menguji dan mencampur ramuan atau apa pun yang mereka lakukan di kuil Mohini. Tugas kalian di sini adalah melindungi warga desa dari pasukan kerajaan. Yang perlu kalian lakukan adalah memperlambat gerakan pasukan, memberikan waktu yang cukup untuk penyembuhan. Kita harus mencoba dan kalian akan mendapat imbalan yang lebih untuk itu. Ketika ramuan itu ditemukan dan berhasil menyembuhkan mereka yang sakit, Baginda Raja akan dipermalukan karena menolak untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri, maka aku akan mendapatkan dukungan yang cukup untuk melengserkannya dan menunjuk pengganti yang cocok. Dan setelah itu, kalian semua akan diberi pengampunan."
"Aku setuju," ucap Janar menganggukkan kepala.
"Sedapat mungkin aku lebih suka kalian tidak membunuh para prajurit kecuali benar-benar terpaksa. Kebanyakan dari mereka melakukannya karena harus patuh pada perintah komandan."
Ganbatar menghela napas. "Itu akan sulit dan membosankan."
Palupi tertawa dan meninju si raksasa. Wajah Ubai tetap serius "Apa yang terjadi jika para tabib pandita gagal menemukan ramuan obat?"
Wajah Rakyan Gardapati berubah muram. "Kita berdoa saja agar itu tidak terjadi dan tetap berharap. Pembantaian besar-besaran akan dibenarkan dan Raja akan mendapatkan lebih banyak sekutu.".
Rakyan Bagaspati berdiri perlahan dan menatap wajah mereka masing-masing.
"Sekarang, apakah Anda siap menjadi pendukungku?"
Ubai dan Palupi mengangguk.
"Aku tak perlu ditanya lagi," jawab Janar.
"Siapa yang tidak suka petualangan?" Ganbatar menyeringai.
Semua mata beralih ke Keti yang masih diam, menunggu jawabannya.
"Aku ikut" kata si Rubah Betina.
Â
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H