Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahan Kimia

9 Maret 2022   20:11 Diperbarui: 9 Maret 2022   20:15 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menyelipkan sebatang rokok ke bibir, dan aku merasa teman-temanku memperhatikanku untuk mencari nuansa.

Bara bersinar menjadi lebih panas pada setiap isapan. Aroma tembakau dan cemara bercampur seperti bau bahan kimia, tetapi lebih kaya.

Aku yakin jika aku merokok sekarang mereka akan masuk dan memperhatikanku. Tapi rokokku tidak ada di meja samping tempat tidur. Tidak ada apa pun , hanya remote TV dan vas dengan semacam bunga.

Aku merasa cemas, sepertinya aku akan terlambat bekerja. Putra kami Hadeon kuliah di Kiev dan butuh biaya, jadi mengapa aku berbaring di sini?

Tempat tidur yang kosong membuatku takut. Bau deterjen menyembunyikan sesuatu. Bagaimana jika sprei perlahan-lahan terangkat dan pegas tempat tidur berderit saat kasur tertekan, kemudian sprei menarik ke atas gumpalan yang menggeliat sepanjang malam dalam penderitaan yang sunyi dan darah merembes ke lantai?

Aku melihatnya tergenang di lantai, dan aku melihat mereka mengepel. Semua orang di rumah sakit, mengepel, mengepel lantai. Aku mendengar ember-ember berputar, dering interkom berbunyi, percikan pel basah di lantai linoleum, dan aku mencium bau bahan kimia.

Klorin membakar mataku. Kolam renang terlalu dingin pada pukul tujuh pagi. Aku tidak memiliki lemak tubuh, jadi mudah hipotermia. Langit dan kolamnya berwarna biru. Rerumputan yang dipotong di luar pagar rantai penghubung menggumpal seperti pakan sapi karena terlalu berembun untuk dipangkas.

Air menggelinding di liang telingaku. Jaket dan handukku digantung dalam kantong belanjaan plastik di samping saat Ibu menghentikan di mobil. Beton yang cerah menghangatkan sol sepatu putihku yang berbintik-bintik kerikil.

Hadeon perenang yang lebih baik dariku. Mereka memberinya kesempatan masuk universitas. Dia bisa mendapatkan beasiswa.

Pel petugas kebersihan berdesir di selasar. Saat embernya mengeluarkan suara bergemuruh, aku terhenyak.

"Datanglah ke sini!" Aku ingin berteriak. Tapi paru-paruku lemah. Aku adalah balon kristal di stratosfer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun