Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 5)

24 Februari 2022   12:00 Diperbarui: 3 Maret 2022   13:15 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Berjalan menyusuri terowongan yang remang-remang selama seperebusan telur ayam, mereka mencapai ujung yang terhalang oleh batu besar dengan seberkas cahaya menembus tepi cadas. Pria tujuh dasawarsa itu bertepuk tangan sekali dan bersiul dua kali, lalu bertepuk tangan dua kali dan bersiul sekali.

Di depan mata Keti, bongkahan batu itu terkuak di atas mereka, memperlihatkan pintu masuk ke sebuah ruangan.

Pria itu memberi isyarat pada mereka untuk mengikutinya menaiki undakan menuju lubang. Keti memicingkan mata, menyesuaikan matanya dengan sinar matahari yang tiba-tiba menyilau membutakannya.

Dia melihat ke sekeliling ruangan. Terlihat pahatan dan berhala para dewa, arca raja-raja masa lalu, dan juga sebuah patung yang mirip sang pria tapi jauh lebih muda.

Sebuah meja panjang dari kayu tembesi berada di sisi ruangan dengan berhala para dewa-dewi yang terlalu banyak untuk dihitung tegak di atasnya.

Pria itu lalu duduk santai di kursi batu dan memberi isyarat pada Keti dan dan Janar untuk bergabung dengannya.

Keti melihat batu penutup lubang pintu terowongan telah berguling kembali ke posisi semula, dijaga oleh dua pengawal bertubuh kekar.

 "Maafkan kalau aku belum memperkenalkan diri sebelumnya." Pria itu membusungkan dadanya dan berbicara dengan suara yang dalam. "Aku Rakyan Gardapati, panglima Kerajaan Sriwijaya. Salah satu dari tujuh Rajya Sabha. Dewan Majelis Negara memang berada di bawah Raja, tapi kami mewakili suara Kerajaan dan rakyatnya dan itu adalah tanggung jawab utama kami untuk melindungi kepentingan rakyat dan menjaga Raja tetap terkendali. Sangat disayangkan bahwa mandat kekuasaan yang kami terima kini dihapuskan. Raja telah memecat semua orang yang mempertanyakan keputusan dan penilaiannya. Sebagian besar anggota Rajya Sabha dan Lhok Sabha, Majelis Rendah, mendukung pemerintahan tiraninya karena ketakutan atau karena serakah."

Gardapati melihat sekeliling dengan waspada, seolah-olah dinding memiliki telinga, dan berbisik, "Raja sudah gila".

"Gila?" Keti bertanya kebingungan, "Baginda Raja Rudrawarman mungkin benar kejam, tidak baik, malas, pemarah. Tapi ... gila? Mengapa orang gila bisa menduduki takhta?"

"Yang kumaksud gila bukan dalam arti hilang kesadaran atau sudah tidak waras meracau tanpa arti. Maksudku, Raja sudah bertindak seperti orang gila. Dia tidak lagi mendengarkan alasan, menikmati kekejaman dan kekuasaan mutlak sebagai sesuatu yang menjadi haknya. Bahkan Raja tega memenjarakan pandita brahmin yang menasihatinya."

Keti mengangguk mengerti. Dia merasakan pundaknya disentuh dan berbalik. Janar menatapnya dengan sedih.

"Raja harus dihentikan, itu sebabnya aku membawamu ke sini."

Janar menatap Rakyan Gardapati. "Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan dia di kedai itu. Tidak ada penjelasan lain selain ini pasti kehendak para dewa." Lalu beralih ke Keti. "Mereka membawamu kepada kami. Seseorang dengan kesaktian sepertimu akan sanagt berguna dalam gerakan perjuangan."

Keti duduk terpekur tak menjawab. Kepalanya dipenuhi oleh pikirannya sendiri, mencoba memahami situasi yang dia alami.

Kesimpulan yang bisa diambilnya, semua hali ini mengarah pada satu hal: pembunuhan Sang Raja. Kudeta penghuni Singgasana Istana.

Semuanya menjadi jelas baginya. Satu-satunya cara dia bisa berharap untuk mendapatkan pengampunan kerajaan adalah melalui Rakyan Gardapati. Gardapati harus menjadi Raja atau menunjuk Raja baru yang dipilihnya. Jika Baginda Raja Rudrawarman mangkat atau dimakzulkan, Gardapati memiliki kekuatan paling besar sebagai panglima pasukan Kerajaan, bahkan mungkin menyaingi Raja.

Dia masih tenggelam dalam pikirannya ketika terdengar suara siulan disusul tepuk tangan. Rakyan Gardapati dan Janar melirik ke bngkahan batu saat para pengawal bersiap-siap mengambil kuda-kuda untuk memindahkannya.

"Ah, akhirnya mereka datang juga," ujar Rakyan Gardapati sambil tersenyum lega.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun