"Yang kumaksud gila bukan dalam arti hilang kesadaran atau sudah tidak waras meracau tanpa arti. Maksudku, Raja sudah bertindak seperti orang gila. Dia tidak lagi mendengarkan alasan, menikmati kekejaman dan kekuasaan mutlak sebagai sesuatu yang menjadi haknya. Bahkan Raja tega memenjarakan pandita brahmin yang menasihatinya."
Keti mengangguk mengerti. Dia merasakan pundaknya disentuh dan berbalik. Janar menatapnya dengan sedih.
"Raja harus dihentikan, itu sebabnya aku membawamu ke sini."
Janar menatap Rakyan Gardapati. "Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan dia di kedai itu. Tidak ada penjelasan lain selain ini pasti kehendak para dewa." Lalu beralih ke Keti. "Mereka membawamu kepada kami. Seseorang dengan kesaktian sepertimu akan sanagt berguna dalam gerakan perjuangan."
Keti duduk terpekur tak menjawab. Kepalanya dipenuhi oleh pikirannya sendiri, mencoba memahami situasi yang dia alami.
Kesimpulan yang bisa diambilnya, semua hali ini mengarah pada satu hal: pembunuhan Sang Raja. Kudeta penghuni Singgasana Istana.
Semuanya menjadi jelas baginya. Satu-satunya cara dia bisa berharap untuk mendapatkan pengampunan kerajaan adalah melalui Rakyan Gardapati. Gardapati harus menjadi Raja atau menunjuk Raja baru yang dipilihnya. Jika Baginda Raja Rudrawarman mangkat atau dimakzulkan, Gardapati memiliki kekuatan paling besar sebagai panglima pasukan Kerajaan, bahkan mungkin menyaingi Raja.
Dia masih tenggelam dalam pikirannya ketika terdengar suara siulan disusul tepuk tangan. Rakyan Gardapati dan Janar melirik ke bngkahan batu saat para pengawal bersiap-siap mengambil kuda-kuda untuk memindahkannya.
"Ah, akhirnya mereka datang juga," ujar Rakyan Gardapati sambil tersenyum lega.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H