Dia dipanggil Gadis Arang, atau Upik Abu, atau sesuatu yang mirip. Sudah beberapa abad sejak kejadian itu, dan nama manusia begitu tak menarik, singkat, gampang larut dalam kenangan.
Sampai di mana tadi? Ah ya, gadis yang bersimpuh di depan tungku dapur. Nah, kamu tahu ceritanya. Ada seorang gadis yatim piatu yang menyedihkan dengan dua saudara tiri yang manja dan ibu tiri yang jahat. Ada seorang pangeran, tampan seperti matahari pagi dengan semua kecerdasan dan otak lalat. Ada pesta dansa, gaun, dan sepasang sepatu yang sangat tidak nyaman dipakai.
Aku minta maaf untuk menyampaikan bahwa tidak ada yang namanya ibu peri. Yang ada hanya aku.
Sebenarnya ini kesalahan ibunya yang sudah meninggal. Dialah yang memberinya cerita pengantar tidur, dongeng tentang makhluk jahat yang tinggal di mendiami api putih dan nyala bara. Yang mengintai di perapian menunggu mereka yang bodoh atau cukup putus asa untuk melakukan tawar-menawar dengan salah satu dari mereka.
Dan dia tidak bisa disalahkan atas mantra yang memanggilku keluar. Aku membisikkannya kepada gadis itu selama bertahun-tahun, kata demi kata, dari perapian di dapur saat dia memasak makan malam setiap malam. Terlalu lembut dan subliminal untuk dia sadari, sampai dia menyenandungkannya perlahan tanpa menyadari beban di lidahnya.
Ada begitu banyak kesempatan untuk dia memanggulku. Saat ibunya meninggal. Saat ibu tirinya menghajarnya untuk pertama kalinya.
Tapi tidak, dia memanggilku untuk mengobrol.
"Apa yang kamu cari, Nak?" Aku bertanya padanya dari nyala api, suaraku berdenting dalam hujan bunga api musim ceri.
"Aku ingin pergi ke pesta dansa," katanya.
Nada pahit segumpal daging di bibirnya. "Aku ingin menjadi cantik, hanya untuk semalam ini."
Aku bisa melihatnya memerkirakan berapa biaya yang harus dia bayar, berapa banyak darah yang harus dia persembahkan untuk mencapai keinginannya. Ibunya pasti tidak melewatkan rincian pengorbanan yang dilakukan dalam tawar-menawar dengan jenisku. Burung beo kesayangan dilemparkan ke dalam api untuk mendapatkan hati seorang pemuda bermata cokelat. Seekor anak kucing  belang tiga yang untungnya sekarat sebelum diserahkan ke tungku untuk mencari obat untuk anak yang sakit-sakitan. Berapa harga sebuah gaun? Sebuah kereta kuda? Malam yang begitu indah sehingga dia bisa menyimpan kenangan dan menyesapnya di tahun-tahun mendatang yang suram, semanis anggur merah?
Aku memikirkan ini sejenak.
"Kenapa aku harus membuatmu cantik hanya untuk satu malam," kataku akhirnya, "ketika aku bisa membuatmu menjadi seorang putri selama sisa hidupmu?"
Matanya melebar saat aku menceritakan kisah masa depan yang mungkin terjadi, di mana pukulan paling keras yang dia rasakan adalah sentuhan sutra di kakinya setiap malam. Masa depan di mana dia akan bangun dengan seorang pangeran tampan di sisinya dan kerajaan yang memuja di bawah kekuasaannya. Masa depan di mana kebahagiaan menenggelamkan ingatan yang tersisa dari lubang gelap tempat dia merangkak keluar.
"Kalau-kalau aku memang menginginkan kehidupan seperti itu untuk diriku sendiri," gumamnya, "berapa biayanya?"
Gadis itu mengepalkan tangannya yang kapalan ke dalam tinju di sisi tubuhnya, bersiap untuk mendengar jawabannya. Tidak diragukan lagi dia mengharapkan aku memberitahunya untuk membawakan anjing tua berkutu  yang dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun dari mendiang ayahnya ketika dia masih kecil. Anjing yang pada saat kedatangan ibu tirinya, telah disuruh tidur di gudang reyot di luar.
"Tidak ada," jawabku.
Mulutnya ternganga, dan aku tertawa.
"Jenisku tidak haus darah seperti yang dikisahkan dalam legenda," kataku padanya. "Tapi mungkin kamu bisa membantuku sedikit."
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku hanya bisa melakukan perjalanan dari api ke api, dan sementara perapian dapur tidak nyaman, akan menyenangkan jika bisa berkeliaran di sekitar rumah sesekali.
Aku memintanya untuk mengisi panci kuningan tua dengan arang dari perapian dan menempatkan sepotong di setiap ruangan di rumah, di tempat-tempat di mana keluarga tirinya tidak akan melihatnya. Misalnya, di bawah tempat tidur atau di balik tirai.
Kurang dari satu jam kemudian, dia meninggalkan rumah dengan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih, bersinar seperti matahari musim panas dalam gaun sutra yang berkilauan dengan semua perhiasan emas dan nyala merah api hutan.
Dia tidak kembali malam itu, atau malam berikutnya. Saudara-saudaraku yang bersembunyi di obor-obor di dinding istana memberitahuku bahwa sang pangeran begitu terpesona oleh tamu misterius itu sehingga dia melamarnya sebelum dansa terakhir, dan dia menikahinya minggu berikutnya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, dan aku juga tidak terlalu peduli.
Dia pasti sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Dia tidak terlalu pintar, tetapi dia juga tidak bodoh untuk percaya bahwa sihir agung seperti itu gratis tanpa tumbal darah.
Keluarga tirinya tiba di rumah larut malam itu, mengeluh karena telah membeli gaun yang begitu mahal, kaki lecet, dan tidak ada pangeran yang mengajak mereka berdansa. Mereka membanting tubuh ke tempat tidur dan mendengkur dalam hitungan detik setelah muka dengan bedak tebal mereka membentur bantal.
Mereka tidak pernah tahu tentang bara yang menyala di bawah tempat tidur mereka dan di sudut-sudut ruangan yang tersembunyi.
Sudah lama sekali sejak aku menyantap manusia. Harus kuakui mereka lezat. Mereka akan selalu dikenang sebagai saudara tiri yang jelek, tetapi mereka sangat cantik saat terbakar. Kulit mereka menghitam setipis renda di gaun pengantin kerajaan, sebelum luruh menjadi abu.
Bandung, 22 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H