Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan

15 Februari 2022   22:03 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:26 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokter Yan yang sok akrab membuat Raisya merasa nyaman. Dia memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya. Dia kesakitan, tetapi sakit yang jauh lebih sakit telah dirasakannya bertahun-tahun membuat yang satu ini tak ada artinya.

Empat anak, tiga memang direncanakan, satu kecelakaan, cangkok kulit dan operasi organ telah membuatnya sangat akrab dengan rasa sakit di tubuh, maka dia menanganinya dengan santai.

"Ini minor fraktur, kecil saja," kata Dokter Yan.

Dia menyentuh dinding dan gambar bagian dalam tubuh Raisya berkedip-kedip. Raisya sudah cukup sering berada di rumah sakit sehingga dapat menemukan bagian yang retak dengan mudah.

"Yah, sama sekali tidak terlihat parah," katanya. "Lebih baik dibalut sekarang biar saya bisa langsung pulang, Dokter."

"Retaknya memang tidak besar," kata Dokter Yang, "tetapi yang bermasalah justru tulangnya."

Dia mengetuk dinding dan gambarnya membesar. "Coba perhatikan, pori-pori tulangnya tampak jelas. Ini tandanya tulang Anda rapuh dan lemah."

Dia mengetuk dinding sekali lagi dan catatan medis Raisya muncul ke permukaan. "Bagaimana fraktur itu terjadi?"

Raisya mengangkat bahunya yang kurus. "Saya mengangkat tas belanja dan tiba-tiba saja tasnya terlepas dari tangan saya."

"Sepertinya ini tulang asli, benar? Kamu tidak pernah mengganti tulang ini?"

"Tidak. Hanya operasi ringan sekitar enam puluh tahun lalu."

"Itu operasi regenerasi otot, bukan tulang."

"Berarti memang saya belum pernah mengganti tulang yang ini."

"Sudah waktunya kalau begitu. Tulangmu berumur dua ratus dua belas tahun. Saya tak menyangka bisa bertahan selama ini."

"Keluarga saya memiliki tulang yang kuat. Apakah sulit mendapatkan penggantinya?"

"Sama sekali tidak. Saya bisa menumbuhkannya  untukmu dalam seminggu. Kita bisa menggantinya di sini."

"Kedengarannya bagus. Kalau begitu sampai jumpa minggu depan." Raisya mengetuk udara, memunculkan layar untuk mengatur jadwal pribadinya.

Dokter Yun Yan menjentikkan jarinya ke dinding, dan catatan medis Raisya yang panjang bergulir di udara. "Raisya, saya pikir kamu mungkin perlu berkonsultasi dengan pengacara sebelum kita mengganti tulangmu."

"Pengacara? Mengapa?" tanya Raisya.

"Kalau tulang ini diganti, berarti kamu telah mengganti lebih dari 90 persen tubuh aslimu dengan material baru. Menurut hukum, kamu menjadi orang lain."

"Itu tidak mungkin, Dokter Yan. Saya tidak akan pernah mengganti otak saya."

"Tidak, tapi saya lihat ada implan, beberapa perangsang pertumbuhan, kloning dan penggantian sel. Sudah banyak yang diganti. Memang tidak sekaligus, tentu saja, tetapi seiring waktu, otakmu sudah tak sama lagi dengan saat kamu mulai hidup, Raisya."

"Tunggu... Maksud dokter secara hukum aku akan dianggap meninggal?"

"Karena lebih dari 90 persen dari tubuhmu telah dibuang, ya. Raisya akan meninggal secara hukum."

"Saya masih orang yang sama! Saya ingat masa kecil saya, saya tidak-"

Dokter Yan menyentuh pundaknya dengan lembut.

"Raisya, bukan saya yang membuat undang-undang. Kamu perlu membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa kamu akan mewarisi semua yang menjadi milikmu."

"Oh,  saya rasa itu tidak perlu. Siapa yang akan menggugat harta saya?"

"Hidup ini panjang, Raisya. Orang berubah. Ada pasien saya yang kehilangan segalanya karena digugat putri sulungnya. Buatlah surat wasiat, demi kebaikanmu sendiri."

"Jadi, pada dasarnya, tulang saya yang retak harus bersedia memberikan harta saya kepada yang lain?"

"Tepat."

Raisya memeluk lengannya saat dia berdiri. "Baiklah, tulang retak. Kamu dan aku pergi menemui pengacara untuk mengurus warisanku."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun