Joko Biden tidak mengerti mengapa orang yang memilihnya percaya bahwa dia selalu jujur sepanjang waktu. Dia bukan orang yang jujur. Dia gagal ketika orang-orang bertemu dengannya secara langsung. Mereka mungkin percaya bahwa dia jujur melalui pidatonya, tetapi kata-katanya ditulis oleh orang-orang yang lebih baik dalam menulis pidato daripada dia. Mereka mungkin percaya bahwa dia jujur dalam pendapatnya, tetapi pendapat itu sering dibuat oleh sekelompok orang yang menjadi penasihatnya, orang-orang yang dia minta nasihatnya, dan sangat menghargai sudut pandang mereka tentang bangsanya yang terpecah. Mereka mungkin percaya bahwa dia adalah pria yang baik, bahkan mungkin pria yang hebat, tetapi dia tidak merasa seperti itu ketika dia berbohong.
Meskipun dia dimaksudkan untuk menjadi contoh cemerlang bagi masa depan negaranya, semua orang berbohong.
Dia duduk di Ruang Koleksi Istana. Ini adalah malam Hari Kemerdekaan, perayaan yang diadakan di Lapangan Merdeka. Dia diharapkan untuk tampil sebagai Presiden, tetapi dia masih gamang. Pengunjuk rasa baru saja dibubarkan paksa dengan meriam air dan gas air mata, dan dia belum tahu harus apa yang harus dilakukan saat jumlah korban tewas dihitung. Dia sedang menulis pesan kepada istrinya, Rihana, yang saat ini sedang dalam perjalanan diam-diam dengan pesawat komersial ke negara tetangga. Kebiasaanya, adalah menuliskannya terlebih dahulu di atas kertas. Kebiasaan lama yang dibawanya sejak masa kuliah, menulis contekan.
Dia berbohong dengan menulis bahwa dia akan segera mengunjungi lokasi pembangunan waduk dan dengan sangat tergesa-gesa. Dia berbohong karena dia bahkan belum berusaha mengemasi barang-barang penting dan mengatur keberangkatan dengan protokoler. Dia memperkirakan bahwa, karena Rihana akan pergi selama sebulan, dia tidak akan tahu bedanya.
Rasa bersalah membakar dirinya, sebanyak sisa ban bekas yang dibakar demonstran dan masih menyala di jalanan. Itu adalah satu-satunya cahaya di luar saat listrik di sekitar istana padam, selain api dari tungku pemanas ruangan. Istana adalah bangunan peninggalan penjajah dengan arsitektur mengikuti asalnya di benua jauh.
Lapisan keringat menempel di jidatnya yang berkerut tiga belas. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi ke samping, kini membentuk poni yang menyebabkan keringat meresap ke dalam manik-manik di dahinya. Tubuhnya terbakar dengan ketidakjujuran saat dia mempelajari tulisan tangannya yang buruk.
Dia tidak bisa membohongi istrinya, tidak peduli seberapa keras dia mencoba. Dia bisa berbohong tentang hal lain, tentang keasliannya ketika ditempatkan di panggung publik, di atas tumpuan untuk dikagumi jutaan orang pengikutnya, tetapi dia tidak bisa berbohong kepada istrinya.
Dia bangkit, kemeja putihnya menempel di kulitnya oleh gelombang panas yang tak terlihat. Dia berjalan dengan kaku ke perapian, surat di tangan, dan menjatuhkannya. Dia terpaku saat kertas mengeriput menjadi api dan mendesis menjadi abu.
Kertas adalah produk dari hutan yang semakin langka. Hutan dibabat dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Negaranya merupakan penghasil sawit nomor satu di dunia. Apa yang aneh kalau minyak goreng yang dibuat dari sawit harganya meroket di dalam negeri?
Tetapi dia tidak bisa membuat dirinya peduli. Suratnya yang juga menyinggung soal harga minyak goreng memudar dari ingatannya. Dia berjalan kembali ke meja resmi Presiden.
Dia duduk, kursi kayu berderit, dan membuka laci.
Dia mengeluarkan selembar kertas lain, meletakkannya di tempat kertas sebelumnya diletakkan. Tangan melengkung menjepit bolpoin. Bau tinta segar menguap masuk lubang hidung. Dia menoreh tinta ke kertas dan memulai pesan baru untuk istrinya, yang nanti akan diketik ulang di ponselnya.
Dia mungkin bukan orang yang jujur, tetapi dia akan jujur kepada Rihana.
Bandung, 11 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H