Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Demam Lelaki Gunung

8 Februari 2022   21:30 Diperbarui: 8 Februari 2022   21:42 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(1)

pada awal terkandung benih akhir

(2)

kamar hotel Pattaya melepas bahang tinggi
obat stoke menyala melawan lidah api lalui gigi persneling tuktuk sepanjang hari
dalam hidupku yang terbakar, dirinya sendiri terbakar oleh neraka abadi

(3)

lelaki berdiri di kaki gunung
telanjang, kepala tertunduk. Wajah persegi panjang kasar dan merah batu bata
jenggot rasputin persegi di rahang menyelubung kulit yang halus,
hampir tidak cukup untuk bertahan hidup.
menatap tanpa penglihatan, di mata kakinya telanjang siang malam

(4)

menyusur boulevard lacak lingkungan lama wanita di sudut jalan
penjual kacang rebus terselip rerumputan tinggi dalam asap uap panas
lantai kamar yang sejuk.
"aku memimpikan sungai," nada desah
"dan siulan tinggi kedasih di dahan bungur."
kalajengking berkerumun dipasir dengan ekor melengkung ke atas-dan-ke atas
bergumam desir di antara mereka

(5)

Lelaki itu mengangkat wajahnya ke gunung
berotot vulkanik tanpa jejak tanaman atau air
gunung yang mana dan di mana?
detil tidak bertanggung jawab

terus melihat ibu yang lebih muda tubuhnya
tersangkut disiksa demam
memohon kembali ingatan dari ibunya
"bagaimana api bisa mati?"
serupa hasrat yang tak menjadi

(6)

bahu lelaki itu menyerah di tanganku
tulang-tulangnya di bawah lapisan tipis daging sekam
mengapa dia berdiri di sini, tanpa pakaian, di kaki gunung?
dari mana dia berasal? Ke mana dia pergi?
mengitari jangat retak, menyusun makna dari luar ke dalam.
wajah tua bopeng, mata buta, tangan kulit,
ketelanjangan meradang, otot di bahu, paha, betis -- semua berbicara.

(7)

angin bahorok bertiup
di luar kalajengking makhluk telanjang berjongkok kemerahan karena debu dan sinar matahari
orang buta itu, ratusan demi ratusan bentuk jongkok.
berkerumun sejauh mata memandang berkelompok
memegang lutut berbagi kehangatan

sesekali melompat, melompat dari kaki ke kaki menggoyangkan anggota tubuh
mengeluarkan darah.
jongkok lagi
lelaki itu dengan mata penuh gelisah menunggu makhluk
rasa sakit, keinginan, dan kasih sayang

(8)

lihat ke bawah, lihat lelaki di kaki gunung, wajah menengadah
lihat kalajengking maju, kematian di ujung ekornya
lihat makhluk-makhluk hamil dan mata piring
lihat kaki berakar berdamping

(9)

istirahat bongkar atur ulang identifikasi
resolusi tidak akan datang
buang semua kecuali lelaki yang dilingkari tanda merah
mencubit bisep, paha depan, betis.
geser jari melalui bulu api
usap telinga lobus heliks ujung bibir dengan ibu jari
rasakan semua yang telah dihilang
berdiri tak bergerak mata buta  terangkat ke langit
gunung belum menjulang di depan

(10)

kita mencapai akhir sesali awal

Bandung, 8 Februari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun