Dengung televisi, obrolan di ponsel, dentuman bas dari musik yang tak henti-hentinya membuat Hanung gelisah. Penglihatannya yang semakin berkurang, pinggulnya sakit, tapi pendengarannya tetap baik-baik saja.
Salah satu lelucon kecil yang dimainkan Tuhan pada orang tua, kata Hanung pada dirinya sendiri.
Dia berharap bisa memberi tahu Kinasih, istrinya selama lima puluh dua tahun, lelucon kecilnya itu. Tapi kahwatir seseorang akan menemukannya berbicara sendiri, dia melarikan diri dari hiruk pikuk penuh kasih sayang di rumah putrinya.
Dia menuruni tangga dengan gaya berjalan menyamping seperti kepiting tua. Kedua kaki di setiap langkah, satu tangan mencengkeram pagar. Marcel Duchamp descendant un escalier ... Terkutuklah Duchamp.
Saat dia membuka pintu belakang, dia menganggap bahwa keuntungan utama dari usia adalah orang-orang tidak memperhatikanmu. Dia tidak akan dicari sampai waktu makan malam. Mungkin Deandra akan disuruh oleh ibunya untuk memastikan dia baik-baik saja. Deandra akan melihat dia tidak di kamarnya, lalu berteriak, "Kakek!" beberapa kali, menganggapnya sedang di kamar mandi, dan pada saat dia turun, seorang temannya akan meneleponnya dan lupa pada tugasnya.
Putrinya sendiri pasti sibuk menyiapkan makan malam atau hanya menikmati waktu untuk dirinya sendiri, akan lupa bahwa dia telah mengirim Deandra untuk mencarinya sampai makanan ada di atas meja.
Hanung berjalan melewati halaman belakang yang baru dipangkas, melewati tungku barbeque dan ayunan yang masih digunakan oleh Aryo, bocah sepuluh tahun, menuju pagar yang memisahkan penghuni rumah dengan "alam liar". Menggerak jarinya mengangkat kait di pintu pagar dan dia merasa bebas.
Burung-burung terbang dari pohon ke pohon dan tupai meloncat ke dahan-dahan yang lebih tinggi saat dia berjalan dengan susah payah melewati hutan kota, sedikit terpincang-pincang tetapi bertekad untuk tidak jatuh tergelincir. Dia ingat bagaimana Kinasih akan meraih lengannya karena takut sandalnya tersangkut di akar yang menonjol di tanah.
"Kenapa kamu tidak memakai sepatu ketsmu?" Kinasih akan bertanya.
"Kau tahu betapa aku benci sepatu yang tertutup."
Kinasih menghela nafas secara dramatis seolah-olah kesal. Apa pun akan diberikannya kini untuk gangguan seperti itu.
Seekor kelinci hutan melompat dari balik pohon dan menghilang ke dalam perdu mawar. Kinasih akan senang melihat itu.
Dia mengikuti jalan yang awalnya dibuat oleh rusa dalam perjalanan mereka ke sungai di bawah. Dia tahu bahwa menantu laki-lakinya membersihkan jalan setapak setiap musim semi, mungkin untuk melarikan diri dari hiruk pikuk rumah. Himawan, pria yang baik, memahami kunci kewarasan dan pernikahan yang baik adalah kemampuan untuk menemukan tempat untuk menghilang.
Hanung berpegangan erat pada cabang-cabang yang menggantung rendah saat dia menuruni tanggul kecil sampai dia menemukan bangku kayu yang menghadap ke sungai. Tidak pernah sesulit ini untuk sampai ke sini sebelumnya.
Lelah, dia duduk dan menyaksikan sungai yang mengalir malas. Tampak sama seperti ketika dia dan Kinasih terakhir melihatnya, tetapi sekaligus begitu banyak yang telah berubah.
Pikirannya mengembara ke saat mereka mengunjungi keluarga. Mereka mencintai putri dan menantu mereka---dan cucu-cucunya---tetapi dia dan Kinasih akan melarikan diri ke hutan untuk duduk di tepi sungai untuk mendengarkan dengung serangga dan kicauan burung.
"Merdu sekali, bukan?" Kinasih akan berkata.
Mereka berpegangan tangan membiarkan waktu berlalu.
Tapi itu sebelum kanker dan stroke merenggutnya.
Sekarang dia duduk sendirian dan melihat seekor kura-kura purba beringsut ke dalam air yang bergerak lambat.
"Bagus juga untuk terus bergerak, hewan tua."
"Oh, Kakek di situ."
"Hah?"
Untuk sesaat, Hanung mengira kura-kura itu telah menjawabnya. Dia berbalik dan melihat Deandra.
 "Aku tahu Kakek di sini. Di sinilah aku biasa melarikan diri juga."
"Tapi kamu punya ponselmu."
Ambar tersenyum. "Kadang-kadang aku juga ingin menyendiri. Aku tidak pernah membawa ponselku ke sini."
"Kamu bijaksana untuk seorang remaja seusiamu."
"Nenek memberitahuku bahwa kakek yang mengajarinya itu."
Diandra menyandarkan kepalanya di bahu kakeknya. "Bisakah kita duduk di sini sebentar dan mengingat Nenek?"
Bandung, 26 Januari 2022
Catatan:
Marcel Duchamp descendant un escalier: Marcel Duchamp menuruni tangga.
Henri-Robert-Marcel Duchamp adalah seorang pelukis, pematung, pemain catur, dan penulis Prancis yang karyanya terkait dengan Kubisme, Dada, dan seni konseptual. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah "Nude Descending a Staircase, No. 2 (1912)".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI