Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selalu, Setiap Minggu Malam

20 Januari 2022   14:09 Diperbarui: 26 Januari 2022   09:55 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
adailysomething.com

Setiap kali kumpul keluarga, maka kami masak makanan terlalu banyak, dan kemudian kami makan terlalu banyak. Meskipun orang tua kami melakukan yang terbaik untuk mencoba dan mengajari kami tata krama yang benar, kami membungkuk di depan piring, meletakkan siku di atas meja dan makan dengan tangan penuh.

Dan pasti ada yang menumpahkan sesuatu, biasanya Ryan. Ellis bergegas membersihkannya. Dia adalah seorang ibu rumah tangga asli. Baru-baru ini Ellis melahirkan anak keduanya, dan aku takkan terkejut jika setiap tahun dia akan melahirkan lebih banyak anak lagi. Citra, istri Ryan, akan segera melahirkan, yang membuatku menjadi satu-satunya yang tidak punya anak dan perawan.

Mereka hampir selalu bertanya kapan aku akan menikah---dan punya anak. Mereka bilang aku tidak bertambah muda, dan jam biologis terus berdetak.

Ellis biasanya membacakan beberapa artikel seperti: Apa yang Diinginkan Pria Milenial, Cara Mendapatkan Suami Idaman, Bagaimana Menjaga Pria.

Bukannya aku tidak menghargai perhatiannya, hanya saja itu bisa menjengkelkan, terutama ketika aku merasa tidak akan pernah menemukan cinta.

Jika aku mulai terlihat benar-benar kesal, Ryan datang dan meremas tanganku. Dia memberi tahuku bahwa dunia tidak selebar daun kelor dan ada belahan jiwa untuk masing-masing manusia di luar sana, yang sama baiknya seperti dia. Abangku pelawak yang tak lucu!

Jika tidak berbicara tentang keluarga atau asmara, percakapan sering kali beralih ke politik. Saat itulah hal-hal bisa menjadi sangat panas. Ryan dan aku seringkali berselisih pendapat. Aku pikir dia masih agak kesal padaku sejak aku mencoba melemparkan lumpia ke wajahnya, tetapi meleset dan kena cangkirnya. Kopi tumpah ke seluruh meja, dan memercik ke kemeja putihnya.

Meski kadang-kadang berdebat, tak pernah sampai terjadi perkelahian. Dan setidaknya kami berbicara.

Awalnya kami hampir tidak berbicara sama sekali. Duduk mengelilingi meja menatap hampa wadah kardus bekas bernoda minyak dengan pizza beku, nyakeju keras, pepperoninya kenyal, dan daging asapnya dingin.

Sudah lebih dari setahun, bahkan sebelum kami membaca buku resep masakan milik Ibu, dan bahkan lebih lama lagi sebelum kami mulai memasak resep apa pun yang Ibu salin dengan rapi dalam tulisan bersambung besar dan melingkar yang tampak seperti hati di atasnya, dan diselingi dengan banyak tanda seru.

Akhir-akhir ini, kami membuat hidangan masa kecil favorit kami. Kami berdiri berdampingan di dapur membuat gulungan kubis, bakso asam manis, lasagna, dan kue cokelat kering. Terkadang, kami bahkan membuat roti sendiri.

Tidak peduli apa yang terjadi, kami selalu berakhir berbicara tentang Ibu dan Ayah. Kami berbicara tentang bagaimana Ayah biasa memutar film dengan proyektor ke layar di halaman belakang setiap malam minggu di musim kemarau, Ibu merebus kacang dan jagung dan mengundang semua orang yang kami kenal.

Kami membicarakan tentang bagaimana Ibu biasa membuatkan kami dua kue ulang tahun setiap tahun: satu untuk sarapan dan satu lagi untuk makan malam.

Salah satu kenangan favorit kami adalah ketika Ibu kehilangan cincin kawinnya saat berkebun, dan Ayah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mencarinya. Dia akhirnya menemukannya di petak tanaman wortel. Ibu berlari keluar rumah tanpa alas kaki, melompat ke badan Ayah dan melingkarkan kakinya di pinggangnya.

Kami membuang muka saat mereka berciuman, tetapi aku pikir kami semua bahagia menjadi satu-satunya anak yang kami kenal yang orang tuanya masih bertingkah seperti itu di usia yang tak lagi muda.

Kami berbicara tentang bagaimana kami semua ingin memiliki cinta seperti itu. Kami berbicara tentang bagaimana butuh waktu lama untuk tidak merindukan mereka yang saking parahnya sehingga terasa menyakitkan. 

Kami berbicara tentang betapa bahagianya mereka jika mengetahui bahwa kami makan malam bersama hampir setiap hari Minggu selama delapan tahun terakhir, bahkan jika kami membungkuk di depan piring, meletakkan siku di atas meja dan makan dengan tangan penuh.

Bandung, 20 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun