Akhir-akhir ini, kami membuat hidangan masa kecil favorit kami. Kami berdiri berdampingan di dapur membuat gulungan kubis, bakso asam manis, lasagna, dan kue cokelat kering. Terkadang, kami bahkan membuat roti sendiri.
Tidak peduli apa yang terjadi, kami selalu berakhir berbicara tentang Ibu dan Ayah. Kami berbicara tentang bagaimana Ayah biasa memutar film dengan proyektor ke layar di halaman belakang setiap malam minggu di musim kemarau, Ibu merebus kacang dan jagung dan mengundang semua orang yang kami kenal.
Kami membicarakan tentang bagaimana Ibu biasa membuatkan kami dua kue ulang tahun setiap tahun: satu untuk sarapan dan satu lagi untuk makan malam.
Salah satu kenangan favorit kami adalah ketika Ibu kehilangan cincin kawinnya saat berkebun, dan Ayah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mencarinya. Dia akhirnya menemukannya di petak tanaman wortel. Ibu berlari keluar rumah tanpa alas kaki, melompat ke badan Ayah dan melingkarkan kakinya di pinggangnya.
Kami membuang muka saat mereka berciuman, tetapi aku pikir kami semua bahagia menjadi satu-satunya anak yang kami kenal yang orang tuanya masih bertingkah seperti itu di usia yang tak lagi muda.
Kami berbicara tentang bagaimana kami semua ingin memiliki cinta seperti itu. Kami berbicara tentang bagaimana butuh waktu lama untuk tidak merindukan mereka yang saking parahnya sehingga terasa menyakitkan.Â
Kami berbicara tentang betapa bahagianya mereka jika mengetahui bahwa kami makan malam bersama hampir setiap hari Minggu selama delapan tahun terakhir, bahkan jika kami membungkuk di depan piring, meletakkan siku di atas meja dan makan dengan tangan penuh.
Bandung, 20 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H