Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Prolog)

19 Januari 2022   08:30 Diperbarui: 19 Januari 2022   08:37 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sawitri menoleh, matanya seakan tertuju padanya. Keti memejamkan matanya sendiri karena tak kuasa menahan tatapan berkaca-kaca dan ekspresi kosong itu.

Tak lama kemudian, dia mendengar orang-orang itu mengerang keras dan tertawa-tertawa. Dia membuka matanya untuk melihat mereka tersentak dan menjauh dari ibu dan kakaknya. Perhatian mereka teralihkan oleh suara perintah yang menggelegar di luar gubuk.

Dia melihat ibunya yang terbaring bagai tak bernyawa, seperti mayat hidup di lantai, tidak bergerak atau berkedip. Satu-satunya yang menandakan dia masih hidup adalah dadanya yang naik turun perlahan. Ketika Keti mengira yang terburuk telah berakhir dan berpikir kalimat yang akan diucapkannya untuk menghibur ibu dan Sawitri, para prajurit berbisik-bisik dan melirik tubuh-tubuh perempuan yang teronggok di lantai. Salah satu dari mereka meludah dengan jijik lalu menusukkan pedangnya ke dada perempuan-perempuan itu. Cairan merah mengalir ke lantai. Keti hampir saja menjerit, tapi buru-buru dia menggigit bibirnya sampai berdarah.

Lama dia diam di bilik orang tuanya, bahkan setelah para prajurit pergi. Waktu berhenti untuknya saat dia menatap ngeri ke mayat-mayat tak bernyawa.

Meringkuk di lantai, dia menarik lututnya ke dada dan menangis. Dia menangis sampai air matanya habis mengering dan tenggorokannya sakit. Dia kemudian tertidur karena kelekahan.

Ketika terbangun, matanya sembap dan tenggorokannya kering. Dia membuka pintu bilik dan merangkak keluar, mendatangi mayat yang tergeletak dan mencium dahi ibunya dengan lembut lalu mengambil cincin ibunya dari jari manis. Dia berbalik menghadap kakaknya, memeluknya erat-erat.

Keti mengucapkan selamat tinggal dan mengambil bungkusan yang telah dikemas ibunya sebelum terbunuh.

Membuka pintu, sinar matahari yang menyilaukan membutakannya sejenak. Dia melihat sekeliling. Asap mengepul dari gubuk-gubuk yang hangus. Aroma kematian meracuni hidungnya. Desa mereka yang dulu hidup sekarang menjadi kuburan.

Bingung harus melakukan apa dan harus pergi ke mana, Keti mencari ayahnya, tetapi dia tidak menemukan satu manusia pun yang masih hidup.

Keti terus berjalan dan tak beberapa lama kemudian, tanpa disadarinya dia sudah meninggalkan desa menuju dunia luar yang masih asing baginya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun