"Ibu!" Kembali air mata Keti bercucuran. Dia balas memeluk ibunya seakan tak ingin melepaskannya.
Dia aman di haribaan ibunya sekarang, tidak ada yang bisa menyakitinya bahkan lelaki yang tampak menakutkan di luar sana.
"Sawitri, bawa adikmu," perintah ibunya sambil berdiri dan melemparkan selimut yang membungkus pakaian ke kakaknya.
Keti didorong ke dalam pelukan kakaknya yang memegang pergelangan tangannya erat-erat dan menariknya menuju pintu. Mata Sawitri melebar ngeri dan rahangnya jatuh ternganga ketika melihat tiga penyerang menuju ke gubuk mereka.
"Mereka disini!" teriaknya. Dia buru-buru mendorong Keti ke bilik orang tua mereka dan menutup pintu kayu.
"Tetap diam dan sembunyi di bawah dipan," kata Sawitri. "Apa yang kamu dengar, jangan bergerak atau bersuara!"
Keti menangis, air mata mengalir di pipinya bagai banjir bandang. Pintu gubuk mereka tiba-tiba didobrak dan terdengar derap langkah menyerbu masuk.
Keti mengintip melalui celah dinding papan, menutup mulutnya dengan tangan sambil menggigit jarinya agar tidak berteriak. Dia menyaksikan ibu dan kakaknya berteriak menjerit, mencakar dan menggigit, berjuang dengan sia-sia melawan lelaki-lelaki yang jelas lebih kuat bertenaga. Ibu dan kakaknya segera ditundukkan saat orang-orang itu meninju wajah mereka dan melemparkan mereka ke seberang ruangan.
"Ayo kita bersenang-senang," salah satu prajurit itu terkekeh sambil menjilat bibir.
Keti menyaksikan para prajurit merobek pakaian ibu dan kakaknya meski sudah menjerit dan berlinang air mata. Dia melihat para prajurit menurunkan celana, merentangkan kaki ibu dan kakaknya yang mengerang kesakitan karena kemudian dihimpit dan ditekan berkali-kali ke lantai tanah.
Dia tidak mengerti apa yang mereka lakukan tetapi dari jeritan ibu dan kakaknya, juga darah yang mengalir di paha Sawistri, yang sedang terjadi di hadapannya sangatlah mengerikan.