Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Kami di Dinding Tebing Karang

8 Januari 2022   19:00 Diperbarui: 8 Januari 2022   19:02 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kami di dinding tebing karang. Dindingnya lembap melindungi kami saat kami tidur. Emak dan Surti berbagi tempat tidur di loteng sementara kami anak-anak lainnya tidur di bawah di atas matras yang kami simpan di belakang kompor pada siang hari.

Sepupu kami, Yon, sedang sakit dan mamanya, adik Emak, menitipkannya untuk tinggal bersama kami pada musim hujan ini sehingga ia dapat mengisi paru-parunya dengan udara laut. Dia mengigau dalam tidurnya. Dialah yang menemukan celah di dinding.

Retakan itu tampak seperti tubuh belut laut yang melengkung. Aku bisa memasukkan jempolku melalui celah yang paling lebar. Ketika Yon pertama kali menunjukkannya kepadaku, kami berlari keluar, menelusuri jari-jari kami di dinding, memperhatikan serpihan dan melangkah hati-hati di sekitar bebatuan di sisi tebing, untuk melihat seperti apa retakan itu.

"Tidak ada," kata Yon. Pipinya pucat basah oleh keringat karena berlari. Dia menyentuh sisi yang tak terputus. Dia lebih tinggi dariku sekitar dua sentimeter, meskipun aku dua tahun lebih muda darinya.

Kami mulai mendengar suara-suara malam itu. Awalnya aku pikir itu Yon yang mengigau dalam tidur, tetapi dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku sehingga aku tahu dia bangun.

Yon dan aku merangkak keluar dari matras lipat kami, berusaha untuk tidak mengganggu yang lain. Kami beringsut ke celah dan melihat seberkas cahaya.

"Di sebelah sana siang," bisik Yon.

Aku melepaskan tangannya dari tanganku dan semakin mendekat.

"Tunggu," katanya. Dia lebih penakut daripada aku, meskipun dia laki-laki. Dia bilang emaknya membuatnya penakut akan segala hal, sementara emakku membuatku tidak takut pada apa pun juga, kecuali para mambang yang tinggal di sisi curam tebing.

Aku mengarahkan mataku tepat pada bagian paling lebar dari retakan itu. Ada pantai berpasir yang mengarah ke laut yang tenang. Airnya biru, bukan abu-abu seperti di sini. Pasirnya juga tidak berbatu. Dan kemudian aku melihat mereka.

"Ada orang di sana," kataku berbisik. Sungguh, aku sangat khawatir membangunkan Emak dan Surti, tetapi lebih khawatir lagi terhadap orang-orang di celah itu, tentang apa yang akan terjadi jika mereka mendengarku.

Ada seorang wanita dengan pakaian renang putih dan seorang anak laki-laki dengan celana renang. Dia mengapung di atas kolam air pasang.

"Coba aku lihat," kata Yon. Dia mendorongku dan mengintip melalui celah, lalu menarik napas panjang dan hampir terbatuk, tetapi mampu meredamnya.

"Itu aku," katanya.

Aku tak ingin membuat suara, maka aku menggelengkan kepala untuk menunjukkan bahwa aku tidak mengerti maksudnya.

Dia berbalik, matanya terpejam. "Ini aku dan Mama, di pantai."

Aku pikir dia gila. Meletakkan jariku di bibir untuk menyuruhnya diam, memberi isyarat bahwa aku dan dia akan berbicara lebih banyak di pagi hari.

Kami menunggu sampai Emak, Surti, dan yang lainnya pergi---sebagian ke kota, dan sisanya bermain di tepi pantai---sebelum aku dan Yon mengintip melalui celah lagi. Kali ini di sana adalah tanah lapang, dan anak laki-laki itu sudah lebih besar sedikit, bermain sepak bola. Ibunya duduk di atas bangku membaca buku.

"Salah satu permainan kesukaanku," kata Yon. "Hanya saja semua pemain lain pergi."

Aku mengamati mamanya. Rambutnya disisir ke belakang, diikat kuncir kuda. Lengkungan betisnya terlihat kuat. Dia tampak sangat sehat di sebelah Yon yang sama pucatnya seperti sekarang.

Hari berikutnya retakan itu menunjukkan mama Yon menjemputnya dari sekolah.

"Konsultasi dokter," Yon menjelaskan.

Berikutnya adalah adegan di rumah mereka, yang belum pernah kukunjungi. Ada kertas dinding pucat di belakang meja dapur tua tempat keduanya duduk untuk sarapan. Mamanya terlihat lelah. Yon tampak lebih buruk lagi, bola matanya tenggelam di wajahnya yang tirus. Mereka tertunduk mengamati piring di depan mereka.

Aku sedang buku membaca di tepi tebing---jarak yang aman sehingga mambang karang tidak bisa menangkapku---ketika Yon datang berlari. Napasnya memburu kencang. Seperti dia perlu istirahat. Dia menjelaskan bahwa dia mengerti apa yang dimaksud dengan retakan di dinding.

"itu adalah peristiwa dalam hidupku, dari masa lalu dan segera setelah itu menyusul masa kini. Sesuatu akan terjadi."

"Apa yang akan terjadi?"

Dia melihat ke atas tebing dan mengangkat bahu. Aku rasa aku tahu apa yang dia khawatirkan. Yang kami semua khawatirkan.

Sejak saat itu, Yon mengintip melalui celah itu setiap jam, bahkan di malam hari saat kami semua tidur. Aku biasanya menemaninya karena itu adalah hal yang menakutkan, dan hal-hal yang menakutkan menjadi lebih baik ketika kamu punya seseorang untuk menggandeng tanganmu.

Adegan di celah mulai berubah menjadi lebih cepat.

Mamanya tidak berbicara dengan siapa pun di meja dapur sementara Yon berbaring di sofa mengerjakan pekerjaan rumah.

Di rumah sakit, di rumah mereka, di kamar Yon, di kamar mandi, sementara bibiku merias wajah dan Dan mengawasi.

Meski pelan, retakan itu semakin melebar. Sekarang aku hanya bisa meremas tangannya, bukan karena aku pemberani.

Yon kini tak pernah berhenti batuk dan menjadi sangat buruk, sehingga dia hampir tidak bisa berbicara. Emak mengizinkannya tidur di loteng bersamanya, yang berarti aku harus tidur di sebelah Surti.

Yon dan aku tidak bisa memeriksa celah di malam hari bersama-sama lagi. Batuknya yang hebat berkoar-koar membuat kami semua terjaga diam dan menatap langit-langit.

Pada malam terakhir itu aku bangun untuk melihat melalui celah itu sendiri, berpura-pura mengambil segelas air. Tidak ada apa-apa. Atau bukan apa-apa. Kosong. Hampa.

Retaknya hilang di pagi hari dan Emak pergi ke kota untuk mencari dokter. Yon tidak akan pernah meninggalkan loteng. Aku naik dan memegang tangannya, meskipun aku yang ketakutan. Dia tidak bisa bertanya tentang retakan itu. Jendela di loteng cukup tinggi sehingga kita bahkan tidak bisa melihat tepi tebing. Hanya debur ombak yang terdengar, lembut bagai lagu pengantar tidur yang basah.


Bandung, 8 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun