Yon kini tak pernah berhenti batuk dan menjadi sangat buruk, sehingga dia hampir tidak bisa berbicara. Emak mengizinkannya tidur di loteng bersamanya, yang berarti aku harus tidur di sebelah Surti.
Yon dan aku tidak bisa memeriksa celah di malam hari bersama-sama lagi. Batuknya yang hebat berkoar-koar membuat kami semua terjaga diam dan menatap langit-langit.
Pada malam terakhir itu aku bangun untuk melihat melalui celah itu sendiri, berpura-pura mengambil segelas air. Tidak ada apa-apa. Atau bukan apa-apa. Kosong. Hampa.
Retaknya hilang di pagi hari dan Emak pergi ke kota untuk mencari dokter. Yon tidak akan pernah meninggalkan loteng. Aku naik dan memegang tangannya, meskipun aku yang ketakutan. Dia tidak bisa bertanya tentang retakan itu. Jendela di loteng cukup tinggi sehingga kita bahkan tidak bisa melihat tepi tebing. Hanya debur ombak yang terdengar, lembut bagai lagu pengantar tidur yang basah.
Bandung, 8 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H