Matahari tepat di atas kepala. Lampu jalan rusak dan daun jendela berkarat. Grafiti berlapis-lapis cat yang mengelupas. Dinding bata dan kedai di Pasar Baru. Kerumunan massa.
Jam Edan, kami menyebutnya, dan memang demikianlah adanya. Siapa yang akan masuk ke dalam pasar dengan begitu banyak orang, siapa pun bisa saja menjadi pembawa virus?
Lihatnya kontradiksinya. Mengingatkanku pada sesuatu yang pernah kudengar, dari seorang driver ojol sebelum semua ini, sebelum pandemi. "Tidak bisa mendapatkan ojek di kota ini," katanya kepadaku. "Terlalu banyak ojol."
Begitulah. Tidak ada yang pergi ke pasar saat Jam Edan. Terlalu banyak orang.
Tentu saja, semua orang berpakaian sampai sembilan lapis. Anggota gerak, tubuh, dan kepala, kali tiga. Tiga lapisan masing-masing, tindakan pencegahan minimal. Lakukan itu, kata mereka, dan mungkin kamu akan baik-baik saja.
Kulit adalah sumber dosa, kata semua orang.
Layla, ketua komunitasku, mengatakannya seperti ini: "Apa yang kamu bilang kulit, tidak lagi sebagai kulit. Itu adalah lapisan dari isi dalammu, seperti otot dan jaringan. hal-hal yang tidak ingin kamu paparkan ke matahari dan udara. Lapisan pertama dari kain itu adalah kulitmu sekarang. Memperlihatkannya adalah dosa. Lapis kedua, itu cangkangmu. Masih bagian dari dirimu, indra pelindung."
"Jadi, kita sekarang sama dengan serangga?" kataku padanya, sedikit kurang ajar. Konyol. Aku beruntung berhasil lolos selama ini.
Tapi dia berkata, "Ya, jadilah serangga. Karena menjadi manusia akan membuatmu terbunuh, maka jadilah serangga."
Aku menahan lidah.