Aku mengambil buku yang diminta dari rak, membuat debu beterbangan seperti biasa. Debu dingin yang menempel di leherku membuatku menggigil. Bayang-bayang gelap menambah dingin udara. Tak ada petugas kebersihan yang sudi mengusir debu dingin. Atau sesungguhnya tak punya keberanian untuk melakukannya.
Aku menuruni tangga dan menempelkan buku itu ke dada dan mengikatnya dengan tali yang kuat dan simpul yang rumit sehingga tak ada risiko aku akan menjatuhkannya. Bayangan di dinding arsip merendah seperti awan yang ingin menjadi kabut.
Aku melintasi ruang arsip. Tanganku bergerak cepat melumpuhkan berbagai jebakan dan rintangan yang dipasang untuk menghentikan orang awam mengakses buku. Anak panah beracun, belenggu duri yang akan menguci pergelangan kaki, lampu minyak yang nyaris menumpahkan minyak panas ke kepalaku.
Buku-buku di samping jebakan itu berlapis bahan tahan api, dan panasnya akan memicu semburan kabut jika jebakan itu tak kulucuti terlebih dahulu. Aku tidak akan seberuntung buku-buku itu, syukurlah elatihan dan pengalaman bertahun-tahun membuat urutan tersulit menjadi mudah, dan aku menikmati kemampuan bayanganku.
Namun, begitu kembali ke mejaku, aku dilanda panik. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku membalik halaman. Tidak ada kata yang kukenal.
Kuletakkan buku lalu menarik napas panjang, kukeluarkan buku tebal lusuh yang mendefinisikan tugas-tugasku. Â Daftar kata-kata terlarang itu menenangkanku. Lembar-lembar yang akrab, huruf-huruf yang kukenal di halamannya---huruf-huruf yang tidak pernah muncul di buku mana pun yang pernah meninggalkan ruang arsip, tidak dalam kombinasi yang persis seperti itu.
Penuh percaya diri dan yakin, aku kembali membuka buku itu.
Sebagai juru sensor, aku harus selalu memastikan tidak ada kata atau ide radikal yang masuk ke dalam otak pembaca. Perangkap di ruang arsip memang penting, tetapi akulah kunci yang memastikan pengetahuan yang diterima warga aman.
Aku mulai dari halaman pertama. Tidak perlu bisa membacanya sendiri, pikirku, cukup dengan mencari huruf-huruf tertentu.
Tidak ada kata yang ditentukan muncul. Dan tidak ada di halaman berikutnya atau setelah itu.
Seharusnya jika tidak ada yang perlu disensor, maka buku ini mudah saja kuloloskan. Kecuali ... jika bahasanya berbeda, maka konsep subservif yang terlarang mungkin tersembunyi di dalamnya. Dan jika lolos dari ruang arsip akan mencari akar di masyarakat. Beban tanggung jawab menekan pundakku, dan aku kembali dilanda panik.
Perlahan-lahan aku menghembuskan napas menenangkan diri, dan mulai membaca buku daftar yang lain. Yang ini tidak seakrab daftar yang pertama, tetapi tetap memiliki kata-kata terlarang yang sama dan diterjemahkan ke bahasa asing. Bahasa lain yang aku tahu. Bukan bahasa buku yang dimaksud, tetapi jika aku dapat menemukan kata-kata dalam daftar ini, maka aku akan memenuhi tugasku.
Aku kembali ke halaman pertama dan bergerak lambat.
Tidak ada kata terlarang.
Selama satu jam berikutnya, aku membaca setiap daftar kata terlarang yang dapat kutemukan. Aku berhasil menghapus beberapa kata di sana-sini, tetapi semakin jauh aku membaca buku itu, semakin jelas bahwa kata-kata yang kusensor hanya kebetulan cocok dengan ejaan sesuatu yang dilarang dalam beberapa bahasa lain. Penyensoran secara kebetulan bukanlah cara untuk memenuhi standar operasi pekerjaanku.
Aku meletakkan daftar terakhir dan mengeluarkan slip permintaan buku tersebut. Dari seorang pejabat pemerintahan tingkat atas.
Di satu sisi, itu berarti aku tak perlu khawatir ide terlarang akan menyebar ke jalanan. Namun di sisi lain, jika kau membiarkan satu saja kata haram terlewat, pejabat itu akan meminta pertanggungjawabanku secara pribadi. Yang berarti karirku selesai sampai di sini.
Aku meletakkan daguku di atas buku yang terbuka. Botol tinta sensor tegak di atas meja, tepat di depan mataku. Dari perspektif itu tampak seperti menara, benteng pertahanan moral yang kokoh, yang akan bertahan terhadap segala ancaman dan serangan.
Gambaran itu membuatku duduk tegak.
Siapa aku untuk dipertanyakan, atau untuk diragukan? Aku adalah juru sensor! Kekuasaan ada di tanganku, bukan pada pejabat pemerintah. Persetan dengan kedudukan tingginya. Jika kukatakan suatu kata harus disensor, maka itulah yang harus dilakukan.
Aku mengambil pena dan mencoret lebih banyak kata, mengambilnya secara acak dari buku. Sensasi kekuasaan membuatku terus membaca seluruh buku. Namun, ketika aku berhenti, gelombang kepanikan lainnya muncul.
Agaknya pejabat itu bisa berbicara bahasa ini. Apakah aku akan menjadi bahan lelucon di pusat pemerintahan karena kata-kata yang kusensor? Atau untuk kata-kata yang kubiarkan tanpa sensor? Mungkinkah aku merusak prestise kantorku dengan apa yang kukerjakan?
Aku memutar kursiku, melihat jauh ke dalam bayangan. Bayangan, menurutku adalah sensor alami, menyembunyikan banyak hal yang seharusnya tidak kita lihat. Dan bayangan itu memberi tahuku apa yang harus aku lakukan.
Aku berputar dan mengambil penaku, dan mulai mencoret-coret. Tinta tebal memenuhi halaman, membuat bayangan setiap huruf, setiap kata.
Ketika selesai, setiap halaman berupa blok hitam. Aku memanggil seorang kurir untuk mengantarkan buku itu ke pejabat yang memintanya. Kemudian mematikan lampu dan membiarkan bayangan menyensorku, hingga besok dan pekerjaan apa pun yang mereka minta dariku, karena sudah menjadi tugasku menjaga masyarakat dari bahaya kata-kata.
Bandung, 2 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H