Saat giliranku ke kamar mandi, aku melihat diriku di cermin berukuran penuh, dan melangkah mundur melihat bayanganku yang seperti badut. Aku menghapus riasanku, membiarkan mataku berbingkai merah dan bengkak seperti habis menangis.
"Ayo, Ma, jangan sampai telat," katanya, seolah-olah dia yang menjadi orang tua dan aku anaknya.
Kami bergabung dengan antrean orang tua dan anak di gerbang sekolah. Dua orang petugas sekolah memegang thermo gun dan hand sanitizer spray.
Saat kami sampai di kelas, pintu sudah terbuka.
"Bye, Ma," anakku berteriak, dan dia masuk ke dalam kelas. Ini pertama kalinya dia meninggalkanku tanpa menginginkan ciuman atau pelukan selamat tinggal.
Aku berdiri diam di tengah lautan anak-anak dan orang tua, sampai aku mendengar namaku disebut.
"Karin? Karin! Kamu Karin, kan?" kata guru anakku dari balik masker.
"Ya, ini aku."
"Oh, senang sekali melihatmu," katanya.
"Ah, yang bener?"
"Sumpah. Eh, aku harus masuk kelas," katanya, tangannya nyaris menyentuh lenganku, tapi kemudian menariknya kembali. "Tapi nanti kita jumpa lagi setelah jam sekolah, kan? Mungkin kita bisa ngobrol sambil ngopi?"