Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 14: Pertemuan Terakhir

18 Juli 2021   08:48 Diperbarui: 6 April 2022   00:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah 30 tahun, hal pertama yang kamu sebutkan di antara keripik nachos adalah malam gerimis di Yogyakarta.

Aku juga ingat, kok.

Kita berdua, berjalan menyusuri jalan Malioboro, setelah menonton Top Gun. Sebelumnya menyeberang rel kereta dari jalan Mangkubumi. Malam tanpa tujuan, sebenarnya.

Percakapan mekar seperti kota yang mengalir di sekitar kita. Berbincang tentang ilmu jiwa dan bertanya-tanya apakah kamu lebih gila dari klienmu.

Kita bicara tentang guru favorit di SMA, kamu dengan bahasa Jerman dan aku Fisika. Setuju wali kelas lebih peduli tentang kita daripada guru lainnya. Berkedip saat bicara tentang rasa teruntuk kekasih masing-masing.

Kita tertawa, bertukar cerita dari teman-teman dan menemukan kita berdua tahu siapa yang diam-diam menyuka.

Aku cerita padamu tentang kritikus film termasyhur yang kukenal sebagai seorang kernet angkot. Kamu bilang kamu senang menjauh sejenak dari kampus dan pacarmu.

Seperti gemerlapnya alun-alun dalam pengampuan lampu yang berkedip-kedip di balik rimbun beringin kembar, kamu berspekulasi tentang masa depan.

"Apakah kita menginap saja?" kamu berkata.

Berdiri sejengkal dari rambutmu yang beriak, warna jintan bintang dalam pendar cahaya lampu, aku melihat kamu yang sesungguhnya: gadis yang lembut, bukan provokator yang pernah kubayangkan.

Jika saja aku menjawab 'ya', malam itu akan menjadi purna alami. Namun, kita punya takdir masing-masing tanpa titik temu. Dan aku akan merindukanmu.

"Aku harus pulang," kataku.

Kini, kamu tak lagi memiliki payudara atau rambut di bawah tutup kepala.

Tapi ini tidak menghilangkan senyummu. Dan setelah acara makan siang ini, kamu akan terbang ke Berlin meninggalkan kenangan.

Kamu bergeser menuju lobi, menunggu shuttle service bergerak ke bandara.  

Karpet tebal membungkam langkah-langkah kita. Satu-satunya suara berasal dari burung yang bersarang tinggi, di balik daun dan ranting yang menyaring cahaya surya.

Ada suatu rasa tentang tempat ini, perasaan bahwa waktu tuntas selesai, seolah-olah setiap berkas sinar yang menembus daun meninggalkan jejak masa lalu, masa kini dan masa depan.

"Di sini kita akan berpisah," katamu.

Bandung, 18 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun