Lokasi: BARAK F. Tahun: 2065
3554L memelototi putrinya melalui lubang mata di tudungnya. Gadis kecil itu belum juga menyentuh makanannya.
"Makan."
Saat itu sudah mendekati akhir jam makan. Sosok mungil berkerudung di seberangnya meletakkan sendoknya dan mengangkat kepalanya.
"Aku-aku tidak bisa. Aku tidak bisa makan. Aku, aku tidak la-lapar"
"Kamu akan makan atau Papa akan memaksakan apa yang ada di depanmu masuk ke dalam mulutmu. Kamu mengerti maksud Papa?"
"To-tolong, Papa, aku tidak bisa-"
Kesabaran 3554L menipis. Kebiasaan putrinya untuk tidak makan mulai mempengaruhi dirinya. Gadis yang gagap dan menyedihkan itu harus makan dengan satu atau lain cara. Dia dengan gugup melihat jam di dinding. 6:54. Masih ada waktu enam menit untuk mengosongkan isi pi-ring di depannya. Dia mendorong kursinya keluar dari meja, dan mendekati putrinya yang gugup dan panik.
"Tolong Papa, ja-jangan ..."
Tetapi sebelum bocah itu bisa mengeluarkan kata-kata lain, dia meraih bagian atas kepala putrinya, menyentakkan lehernya ke belakang dengan kasar hingga anak itu tidak bisa bernapas. 3554L memposisikan piring dengan tangan satunya tepat di bagian tudung wajah putrinya. Dia melepaskan tudung dan mulai menyorong makanan ke dalam mulut bocah itu dengan sendok. Darah mulai mengalir dari bibir mungil itu, tetapi pria berkerudung itu terus memaksa masuk makanannya. Saat dia tersedak dan tergagap, mama si bocah, 3355P menatap piringnya sendi-ri yang kosong, memastikan tidak ada yang makanan yang tersisa.
Ketika makanan di piring putrinya habis tandas, 3554L meletakkan kembali piring dan sendok yang berlumuran darah itu ke atas meja.
"Bersihkan sendokmu."
Gadis cilik itu, masih terbatuk-batuk dengan air mata mengalir di wajahnya dan darah memenuhi mulutnya, dengan patuh mengambil sendok dan menyekanya dengan serbet. Dia kemudian menyimpan potongan kain yang ternoda itu ke dalam saku jubahnya. Sirene berbunyi me-nandakan jam makan telah berakhir, dan seperti biasa terdengar ketukan di pintu. Seseorang di baliknya berte-riak, "Pengawas F3. Saya akan masuk untuk memastikan ransum pembagian telah dikonsumsi oleh keluarga yang tinggal di tempat ini."
Pintu terbuka. Sosok yang mengenakan jubah hitam dan sepatu bot yang berkilau masuk. Tudung kepalanya tidak sampai menutupi seluruh wajah, hanya mulutnya saja. Hidungnya melengkung seperti paruh elang dan mata abu-abu logam terlihat sempurna. Senapan mesin yang tersandang di bahunya seakan tak berarti apa-apa, tetapi semua orang di meja tahu bahwa dalam setengah detik, benda itu bisa berada di tangannya, mengirimkan peluru ke kepala mereka.
Matanya berpindah dari satu piring ke piring lainnya sementara gadis itu mencoba menahan batuknya dari balik tudungnya. Matanya berair karena tegang, dan dia bisa merasakan sepotong makanan masih tersangkut di tenggorokannya, memperburuk batuknya yang ditahan.
Rasanya, pemeriksaan ini seakan takkan pernah berakhir.
Pengawas berhenti lebih dulu di belakang mamanya. Dia mengambil piring dan melihatnya dengan hati-hati. Mamanya sedikit menegang karena merasakan kehadiran di belakangnya, tapi seperti biasa, dia tidak menunjukkan reaksi.
Sang Pengawas dengan puas meletakkan kembali pelat itu dan mengeluarkan nutrisimeter. Dia mengarahkan perangkat kecil putih itu ke dada mamanya dan menunggu. Dua bunyi bip, perempuan itu akan tetap hidup, tiga kali, dia tewas. Terdengar bunyi bip dua kali.
3555P akan hidup untuk melihat hari esok yang menyedihkan.
3556P diam-diam mengejang di bawah jubah merahnya yang tebal. Dia bisa merasakan tatapan mata gelap papanya yang kejam, meski dia tahu bahwa jika terbukti dia tidak makan makanan yang disediakan oleh pengelola Barak F dengan sukarela, kemungkinan terbaiknya adalah hukuman mati.
Pengawas melanjutkan mengukur suhu papanya ketika setetes darah jatuh ke piringnya. Darahnya, yang akan menjadi bukti yang digunakan untuk menghukum keluarganya.
Nutrisimeter Pengawas berbunyi bip dua kali, dan saat dia hendak menuju ke 3556P, sirene yang dipasang di tengah lapangan Barak F berbunyi nyaring. Suara yang keras dan menggelegar mengejutkan semua orang di ruangan kecil itu.
3556P menganggap suara keras sebagai kesempatan untuk batuk perlahan yang membebaskan sisa makanan yang menyangkut di tenggorokannya. Pengawas memindahkan senjatanya ke depan dan lari keluar rumah tanpa mengu-capkan sepatah kata pun kepada ketiga sosok merah tua itu.
Sirene yang menggelegar hanya berarti satu hal: seseorang mencoba melarikan diri. Mereka menunggu sesaat sebelum terdengar suara tembakan. Siapapun yang men-coba melarikan diri telah dieksekusi.
Suara sirene berhenti. Dua sosok manusia dewasa di meja makan menghela napas lega, sementara gadis kecil itu mencoba untuk bernapas dengan normal lagi.
Dia tidak diperiksa malam ini, tapi bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan besoknya lagi? Sejujurnya, dia merasa dia tidak pernah ingin makan lagi.
Rasa gelisah membuatnya sesak napas. Kedua orang tuanya berdiri dari kursi dan pergi menuju tempat tidur mereka. Setelah napasnya berangsur normal, gadis cilik itu bangkit dari kursinya dan berjalan dari ruang makan ke tempat tidurnya sendiri, sebuah area abu-abu kecil dengan sebuah tempat tidur dan kursi kecil sebagai pelengkap.
Dia berbaring di tempat tidurnya dan melepas kerudungnya. Mulutnya bengkak karena dicekoki makanan dengan paksa, dan di dalamnya masih ada sisa makanan yang tidak berhasil ditelan. Dia meludahkannya ke bawah ranjang dan menutup matanya.
Yang bisa ditanggungnya pada hari itu, hanyalah saat dia menutup mata dan mengingat-ingat. Tentu saja, yang dia ingat bukanlah ingatannya sendiri, tapi yang diceritakan oleh orang lain. Matanya berkaca-kaca.
3556P melihat ke kursi tempat orang lain itu akan duduk dan bercerita tentang kisah yang tak ternilai tentang masa lalu. Dia kembali memejamkan mata, dan membayangkan neneknya, Devi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H