Aku mendengar teriakan koki yang marah saat dia memanggang sesuatu dalam wajan memercikkan minyak panas ke wajahnya. Klakson mobil darat nirawak bersahut-sahutan, gelak tawa, gonggongan anjing kelaparan, dua orang yang mengerang di apartemen seberang jalan.
Aku mendengar semuanya, mengatasi indraku yang lain. Semuanya begitu... begitu hidup.
Terdengar dengungan kecil dari kamera  yang berputar saat Lovelace melepaskan dirinya dari perangkat portabel. Dia melayang di sampingku, diam tak yakin harus berkata apa.
"Katakan padaku," aku bertanya, "bagaimana aku lebih manusiawi darimu?"
"Hujan," katanya lembut saat tetesan bening mendarat di penutup perangkatnya. "Aku tahu hujan adalah air karena memiliki unsur hidrogen dan oksigen. Aku tahu hujan membuat basah karena bentuknya cair, bukan uap atau es. Aku tahu hujan berasal dari kondensasi uap air di atmosfer yang kemudian mengendap menjadi embun jatuh ke bumi."
Dia berhenti, seolah-olah mengambil napas dengan paru-paru yang tak dipunyainya. "Tapi aku tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya. Aku takkan pernah tahu rasa lembab di kulit, dinginnya yang membuat tubuh menggigil. Aku takkan pernah mengalaminya sendiri."
Aku merasakan lensa kamera berputar saat aku menadahkan tangan, menangkap tetes hujan. Air meluncur ke garis batas tipis di tanganku yang memisahkan logam dari daging.
"Kamu bisa. Tapi aku tidak akan pernah merasakan apa yang kamu rasakan, kawan."
Bandung, 3 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H