Bagaimana mungkin menjadi bagian dari umat manusia ketika kamu bukan manusia?
Aku hanyalah adalah sebuah eksperimen. Sebuah 'keajaiban ilmiah'.
Keajaiban? Ya benar.
Tangan robotku meraih tablet data yang merinci semua 'upgrade'Â yang diberikan padaku, menjepitnya dengan hati-hati agar tidak remuk di antara jari besi. Kata-katanya ringkas padat, rincian singkat tentang bagaimana tulangku telah diganti dengan logam padat berserat. Bagaimana perangkat kecerdasan buatan telah diintregrasikan di tengkorakku, juga modifikasi jaringan tubuh. Bahkan, otakku kini sebagiannya adalah mesin.
Masihkah aku bisa disebut manusia, ketika semua yang kumiliki sebelumnya: emosi, memori, rasa---semua yang mendefinisikan siapa aku--- telah diganti, dikacaukan, dan diubah menjadi sesuatu yang artifisial?
Bagaimana aku bisa yakin bahwa memori ini adalah milikku?
"Cermin itu sangat mahal," kata Lovelace, kecerdasan buatan yang merupakan temanku satu-satunya di sini. Terdengar desir menjengkelkan saat kamera kamar mandi memperbesar tangkapan lensa.
"Mengapa kamu merusaknya?"
"Kamu tahu kenapa," kataku.Â
Lovelace bisa mendeteksi kecepatan detak jantung buatanku, derau lonjakan sinyal radio dari otakku yang telah mengalami peningkatan kinerja saraf, dan oksigen yang kuhirup melalui paru-paru buatan.
Dia tahu aku marah dan tahu mengapa.