Tapi dia tetap bersikeras ingin bicara.
Kristin tidak ingin menangis. Berarti harus mengubah suasana hati. Cepat. Jadi dia berteriak, "Keluar dan bawa Freud bersamamu!"
Kristin tahu bahwa dia telah bertindak irasional, tapi dia tidak peduli. Si psikiater tidak boleh memutuskannya. Kristin yang harus memutuskan terlebih dahulu jika memang harus putus.
Kristin benci bajingan sombong itu. Kristin juga sangat mencintainya, sehingga dia akan melompat lebih dulu ke depan lokomotif yang melaju daripada melihat si psikiater terluka. Itu sebabnya Kristin suka melemparkan sepatunya.
"Tunggu," kata si psikiater, seolah benjol di kepalanya tidak berarti apa-apa.
"Singkirkan dulu rasa tidak aman dan sejarah masa lalu sejenak, Sadarlah, sudah hampir setahun kita seperti ini. Dan mungkin aku hanya ingin melakukan sesuatu yang romantis."
Kata-katanya membuat tantrum Kristin berhenti. Dia tidak tahu ke mana si psikiater menuju.
"Kamu adalah perempuan paling cerdas, paling lucu, paling seksi yang pernah aku temui. Kamu juga perempuan yang paling menjengkelkan, paling membuat frustrasi, dan paling gila di dunia."
Dia meraih meja nakasnya, membuka laci dan mengeluarkan cincin berlian. "Jika kamu berjanji untuk tidak berubah, aku berjanji untuk menjadi suamimu yang setia dan mencintaimu seumur hidupku." Jeda sejenak. "Sampai kamu berubah pikiran dan membunuhku sampai mati."
Kristin benar-benar ingin menangis, tapi dia berhasil menenangkan detak jantungnya.
"Apakah ini berarti aku tak boleh berharap kamu menjadi psikiaterku lagi?"