Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang pertama kali melihatnya adalah Maya Sumangando dari Jl. Kawi No. 34.

Sisa muntah segar masih melekat di giginya dan tenggorokannya sakit karena sengatan asam lambung saat dia mengintip ke luar pada pemandangan aneh di atas bukit: lampu kuning yang menyala dan mati, menyala dan mati.

Jelas bukan karena arus listrik yang jelek, karena polanya terang dan gelap yang stabil seolah-olah ada seseorang yang sedang bermain-main dengan sakelar.

Aneh, pikir Maya, karena dia tahu rumah tua tanpa penghuni itu terkunci rapat. Dan setelah tetangga mengeluh bahwa bangunan reyot merusak pemandangan, dinas pekerjaan umum akan merobohkannya besok pagi dan meratakan bukit untuk dibangun taman bermain bagi anak-anak atau semacamnya.

Maya berdiri diam tak bersuara. Sinar yang tidak menyenangkan secara berkala menyapu wajahnya dengan warna pucat, membuat perutnya mual. Pupil matanya menyusut dan membesar dalam mantra hipnosis.

Di belakangnya, pembawa acara infotainment di televisi mengoceh omong kosong selebriti dan sesekali meledak gelak tawa. Dinding ruangan bermandikan kilatan cahaya kaleidoskopik biru putih. Ibunya tergeletak di atas sofa seperti ikan paus yang terdampar di pantai, berdeguk dalam tidurnya seolah-olah sedang menyelam sambil minum air. Lengannya menjuntai di tepi tempat dia memegang remote dengan tangan yang bengkak, dan ketika benda itu terlepas jatuh ke lantai, Maya tidak mendengar apa-apa.

Seakan ada yang menariknya ke arah cahaya, ditarik tanpa mengetahui alasannya, dan tiba-tiba Maya sudah berada di luar dalam udara malam yang lembap. Tanpa berpikir dia melintasi aspal yang dingin dan basah dengan kaki telanjang, sama cerobohnya seperti saat pertama kali dia menusukkan telunjuk ke tenggorokannya untuk mengeluarkan semua kotoran yang dia asosiasikan dengan pencernaan.

Sepuluh menit sebelumnya, dia telah tenggelam dalam ritual makan-muntah-tidur, bulimia yang membawanya dalam gangguan mental yang membahayakan jiwa mencekik setelah secara tidak sengaja melihat ibunya telanjang dengan segala kelebihannya: dugong tanpa leher dengan gelambir lemak yang berlipat-lipat tak terhingga. Maya tidak akan pernah membiarkan dirinya menjadi seperti ibunya, hanya saja dia kesulitan menekan rasa laparnya.

Ketika monster itu tertidur, Maya duduk di lantai dapur dan memenuhi tubuhnya dengan semua karbohidrat, lemak, garam, yang beracun di siang hari. Lalu pada malamnya segera disemburkannya semua dengan semburan air panas dan tidur sebelum rasa kenyang lenyap.

Malam ini tidak akan berbeda seandainya dia tidak melihat denyut kilatan kuning ketika dia hendak mematikan TV. Mulutnya terasa asam dan nafas nyaterengah-engah. Mencengkeram rumput dan semak belukar kering, bergegas mendaki bukit, menguji batas kemampuan ototnya yang berhenti berkembang dan tulang-tulangnya yang rapuh.

Dia mendaki bukit dengan tenaga terakhir yang sekarat dan sangat terkejut melihat pintu depan rumah terbuka. Papannya pecah, paku berkarat dan bengkok berserakan di ambang pintu.

Lampu menyala, mati, menyala, mati.

Terhuyung-huyung menginjak puing-puing, tanpa berpikir Maya masuk ke dalam dan menghilang.

***

Gibran dari Jalan Kawi No. 30 melihat sekilas cahaya melalui celah kerai yang berdebu saat dia sedang mengerjakan proyek terbarunya: model miniatur rumit dari kapal layar tiga tiang tinggi yang disebut barque. Detailnya sangat rinci sehingga dia menggunakan kaca pembesar dengan lampu tepat di atas kepala. Struktur lem dan kayu yang megah itu akan menjadi primadona di antara koleksi miniatur yang dicintai. Warnanya hitam dengan layar putih terbentang pada tali-temali benang, kerek mungil dalam skala yang tepat sampai tiga digit. Samudra dan pelabuhan mini tiruan Papetee era bajak laut terbuat dari karpet kempa, jalanan dari pasir sungai yang direkatkannya dengan hati-hati. Dia membuat kerangka pohon kelapa dari kawat dan silikon dan menghiasinya dengan potongan timah sebagai daun. Gubuk, warung minum, markas tentara disesuaikan dengan apa yang dilihatnya di kanal history. Butuh waktu dua bulan untuk membuat kapal layar tinggi, yang bisa dihancurkan dalam dua menit oleh tangan yang lasak.

Bukan pekerjaan mudah, tapi Gibran menyukainya. Dia begitu tenggelam dengan hobinya, hingga hari-hari berlalu di sekelilingnya tanpa terasa, karena kerai selalu tertutup untuk menghindari gangguan dari luar. 

Seluruh rumahnya adalah bengkel yang dilapisi serbuk gergaji dan bau cat, dilengkapi dengan ratusan perkakas yang tergauntung di dinding. Dia tidak mempedulikan para tetangga ketika menghidupkan gerindanya yang meraung-raung di tengah malam, karena inilah dunianya. Dunianya sendiri yang jauh dari mereka semua.

Di tengah, meja kerjanya yang berantakan bermandikan cahaya lampu yang bagi Gibran adalah cahaya suci. Saat ini dia menggunakan palu kecil buatan sendiri untuk memakukan rantai miniatur sebagai jangkar kapal. Tangannya adalah mesin cekatan yang bekerja secara independen dari tubuhnya, dilatih oleh keahlian setara dokter spesialis bedah jantung dengan presisi hasil praktik bertahun-tahun. Dalam sekejap ia berhasil mengayunkan palunya, dan dengan tangannya yang berhati-hati, hampir feminin, ia berhenti dan tersenyum pada diri sendiri.

Saat itulah dia mendongak dan melihat cahaya lampu yang berkedip-kedip memuakkan yang telah mengganggu konsentrasinya sepanjang malam. Siapa di luar sana yang melakukan itu, mengganggu kerjanya?

Gibran beringsut ke jendela dengan sandal dan celemek kotor di dada, menguak kerai dengan tangannya yang pucat berdebu. Dia mengintip melalui celah sempit ke dunia yang sangat dia benci dan di sana, di rumah di atas bukit, lampu berkedip-kedip. 'Anak-anak sialan mungkin membuat lelucon', pikirnya, dan kembali ke pekerjaannya.

Dia bermain-main sejenak dengan benang yang berfungsi sebagai tali penarik layar, dan kemudian mengintip ke kamar ruang yang dulu menjadi kamar tidur, ke dunia bercahaya yang dia ciptakan di sana. Miniatur pulau Pape'ete dan Mo'orea yang pernah menjadi surga perompak abad ke-17 dengan kapal-kapal berbagai rupa di lautan dan bangunan-bangunan yang dibuat semirip mungkin. Di tengah pulau terbesar berdiri sebuah benteng dengan papan petunjuk bertuliskan Kerajaan Gibran dengan huruf cokelat tebal.

Tidak ada orang lain selain Gibran yang tinggal di Kerajaan Gibran, dan karena itu dia menyukainya. Itu adalah dunianya setelah pacarnya memberitahunya bahwa dia adalah babi yang tidak berharga dan pindah ke pelukan pria lain, meninggalkannya dengan hati patah. Dunia telah mengucilkannya berkali-kali sehingga Gibran memutuskan bahwa inilah gilirannya untuk mengurung diri. Dia membuat dunianya sendiri, jauh dari orang-orang dan semua dusta mereka. Di sini dia merasa damai. Di sini dia adalah Raja.

Model baru ini akan segera ditempatkan di dermaga pelabuhan yang bersambung dengan jalan raya yang berkelok-kelok, danau kaca patri, dan perbukitan gipsum. Dan lampu sorot segera akan menyala seolah-olah semua manusia di dunia ada di kerajaan bajak laut Gibran.

Namun, untuk dia tak bisa menahan diri untuk tidak berjalan kembali ke jendela dan melihat pola kuning dan hitam yang tak kunjung padam. Matanya yang merah kurang tidur semakin memerah dan berubah menjadi sorotan rasa kesal yang semakin dalam.

Demi Poseidon! mengutuk dalam hati. Dia berpisah dengan kuil sucinya dan tertatih-tatih menuju bukit, berencana untuk mengajar anak-anak nakal yang bodoh itu dengan tongkatnya. Dia yakin semua anak nakal bodoh.

Seperti Maya, Gibran berjuang untuk mencapai puncak, dan begitu sampai di sana dia menemukan hal yang sama di ambang pintu. Di mata Gibran, terlihat seperti seseorang telah mencabik-cabik kayu dan paku dari pintu dengan tangan kosong, tapi dia tak terpengaruh.

Bocah-bocah nakal itu, pikirnya lagi, membersihkan jalan dengan tongkatnya. Tanpa ragu, dia melangkah masuk.

***

Firni di Jalan Kawi No. 38 bingung ketika dia menyadari cahaya kuning yang masuk melalui jendela bukanlah dari mobil teman kencannya. Tidak. Cahaya itu berasal dari rumah jelek di atas bukit. Mungkin mengalami kerusakan kabel listrik, dan semakin lama Firni duduk di sana menunggu sambil mengikir kuku, semakin dia bertanya-tanya mengapa tidak ada yang pergi ke sana dan melakukan sesuatu tentang hal itu, sebelum besok bangunan bobrok itu dirubuhkan untuk selamanya.

Sesekali dia melihat sekilas ke jendela hanya untuk memastikan bahwa bukan yang ditunggunya kali ini, dan kemudian sambil merokok, dia melanjutkan pekerjaannya menaburkan debu kuning di atas meja yang sudah dikotori dengan puntung dan abu rokok. Penampilannya harus sempurna, sampai ke ujung kuku.

Rafi Kemas adalah 'belahan jiwa'-nya, dan Firni tahu pasti tentang itu. Secara harfiah, semua orang yang pernah dia kencani adalah 'belahan jiwa', meski dia akan menyangkalnya jika ada yang mengatakan demikian, karena jumlahnya cukup banyak. Nona Firni Voermann yang muda dan menarik memiliki minat bercinta lebih daripada tingkat IQ yang dia punya. Jadi sebenarnya, belahan jiwa-nya dalah keping-keping berserakan tak terhingga.

Rafi Kemas adalah belahan jiwa untuk hari ini, Aditya Brahmono akan menjadi belahan jiwa besok, dan mungkin Jack Spandau akan menjadi belahan jiwa minggu depan. Dia adalah seorang gadis dengan dorongan sederhana dan tujuan sederhana, menandai setiap batang dengan lipstik merah mencolok dan parfum yang memabukkan, meninggalkan kenangan pada setiap ranjang yang jadi persinggahannya.

Jika ditanya mengapa dia mempunyai begitu banyak kekasih, Firni akan menjawab bahwa hanya itu yang dia punya. Putus sekolah karena kemampuan otaknya menerima pelajaran seperti daun keladi ditetesi air. Orang tuanya yang kaya telah mencoretnya dari daftar wasiat. Dia bekerja dengan pekerjaan biasa-biasa saja dan tinggal di rumah biasa-biasa saja, dan jika bukan karena banyak lelaki yang membujuknya dengan benda-benda, Firni Voermann akan berada di pojok dengan es krim dan cokelat, menangis sambil menjilati lukanya.

Ketika dia bosan dengan 'belahan jiwa'nya, Firni tak ragu-ragu mencampakkan lelaki malang itu dengan apa yang dia pikir hanyalah penderitaan sesaat serta kejantanan yang terluka. Dia tidak benar-benar mengira mereka semua mencintainya, bahwa dia telah menguleni mereka semua seperti tepung di bawah ibu jarinya, dan bahwa dia membuat hati mereka hancur berkeping-keping ketika mengatakan bahwa semuanya telah berakhir. Dia tidak pernah memikirkan gagasan mengerikan bahwa dia sangat berarti bagi mereka, dan terutama tidak sekarang, karena Rafi Kemas adalah belahan jiwanya.

Rafi Kemas sangat terlambat. Debu kuku, puntung dan abu rokok menumpuk berkumpul di meja, Firni mulai resah. Mungkin dia mengalami kecelakaan atau mungkin dia lupa atau mungkin dia tersesat! Setelah tiga jam menunggu tanpa telepon atau pesan, tampak jelas bahwa Rafi takkan datang. Dan meskipun Firni membencinya, dia lebih membenci dirinya sendiri.

Jari-jarinya menjadi panas di bawah gesekan kikir kuku yang karena frustrasi melukai kulitnya hingga terkelupas dan berdarah. Terkejut sendiri, dia berteriak kesakitan dan melemparkan kikir kuku, seolah-olah mencampakkan rasa sakitnya kepada belahan jiwa yang tak datang juga. Dan lampu itu! Lampu yang menjengkelkan dan mengejek itu! Persetan, dia sendiri yang akan mematikannya!

Firni melangkah ke arah bukit, tumitnya berderak keras dan ujung gaun merahnya berdesir menggesek pahanya. Dia terpeleset di jalan licin dan kedua lututnya memar. Dia merangkak sepanjang sisa perjalanan menuju lampu yang mengejeknya dan menyalahkan mereka atas segalanya. Akhirnya dia muncul di puncak bukit, berlumuran darah bercampur tanah, maskara murahan luntur di pipi bagai tinta cina. Dia menyapunya dengan tangan, mencoreng wajahnya bagai prajurit perang, menggeram liar, dan masuk ke dalam.

***

Mahesa Nendra dari Jalan Kawi No. 32 bersimbah keringat dingin, tersadar dari kekerasan mimpi buruk yang mengerikan saat lampu dengan pola denyut semesta menerangi tirai kamar tidurnya. Dalam mimpinya dia dikejar oleh badut berkostum polka dot dengan mata hitam dan gigi bergerigi yang meneteskan cairan merah. 

Tawanya melengking seperti deru angin dan sepatu badut merahnya yang besar seolah-olah penuh dengan air saat berlari mengejar Mahesa dengan cepat ke depan, cakar setannya yang seperti kepiting terulur dan berdecit. Menjadi bisu sejak lahir, Mahesa tidak bisa berteriak dalam mimpi seperti dia sebenarnya di kehidupan nyata, tenggorokannya berdecit seperti terompet yang tersumbat saat badut iblis menyambarnya dengan cakar kepitingnya dan mengangkat wajahnya terlebih dahulu ke dalam bergerigi, tajam. lubang rahangnya.

Mahesa duduk tegak, gemetar karena goncangan gempa susulan dari mimpi buruknya, rambut hitam melengkung berbetuk koma menempel di dahinya yang berkeringat.

Suara gemericik bergelembung bergema di benaknya saat bocah lelaki itu mengusap dahinya dengan sarung bantal dan bernapas melalui mulutnya, berharap ada suara yang keluar, berharap dia bisa menangis untuk ibunya.

Seperti biasa tidak ada yang terdengar kecuali bisikan parau kasar dari nafasnya. Betapa dia berharap dia bisa mengatakan hanya satu kata, kata apapun! Bahkan jika kata itu adalah kata paling jorok, bahkan jika Mahesa diizinkan untuk mengatakannya hanya sekali seumur hidupnya, dia akan mati sebagai orang yang paling bahagia di muka bumi.

Saat dia tidak bisa menjawab dengan gerakan kepala atau tangan, Mahesa berkomunikasi dengan papan tulis dan spidol. Sungguh memalukan ketika harus menuliskan jawaban daripada mengucapkannya, harus takut orang lain akan bosan dan pergi setelah beberapa percakapan kecil, yang selalu mereka lakukan.

"Kenapa kamu tidak bisa bicara?" anak-anak di sekolah bertanya.

Saya bisu, tulis Mahesa.

"Apa artinya?"

Artinya saya tidak bisa bicara.

Kenapa kamu tidak bisa bicara?

Aku tidak bisa.

Selalu begitu. Mahesa tidak bisa tertawa dengan teman-temannya---bukan karena dia punya selera humor---tidak bisa bernyanyi bersama, dan tidak bisa berbicara dengan gadis yang menurutnya cantik tanpa tiba-tiba si gadis berpaling dan mencambuknya dengan kuncir kuda panjang saat menjauh pergi. Dia semakin membenci anak-anak lain, dan terkadang, dia bukan berharap dia bisa berbicara, tetapi semua orang bisu seperti dia.

Saat menurunkan bantalnya, kilatan cahaya menyala, padam dengan jeda tetap menyeruak dari tirai jendela. Pola yang menenangkannya, dan dia mengamatinya dalam diam. Menurunkan kakinya ke lantai, meluruskan piyama bercorak harimaunya dan melangkah ke jendela.

Mahesa membuka tirai dan naik ke kusen jendela untuk melihat lebih baik. Terkejut dengan caranya yang sunyi tanpa bunyi, dia berjongkok dengan tangan menempel di kaca, mulutnya setengah terbuka menunjukkan kepolosannya yang kekanak-kanakan saat menatap keanehan di atas bukit.

Mahesa bahkan tidak suka melihat rumah itu di bawah cahaya matahari siang hari, karena dia selalu merasakan semacam bayangan aneh yang berkelok-kelok melintasi jendela buram, mengawasinya. Rumah itu, menurut Mahesa, dengan kepastian yang hanya bisa diyakininya melebihi logika, adalah tempat persembunyian makhluk-makhluk mimpi buruknya. Penghuni mimpi buruk semua anak-anak.

Ketika anak-anak di lingkungan sekitar mendapat mimpi buruk yang terlalu banyak, tidak akan tersedia cukup ruang untuk monster lagi, maka mereka semua keluar dan meneror anak-anak. Tenggorokan Mahesa gatal oleh keinginan untuk menjerit saat membayangkan badut iblis menggoreskan cakar yang setajam silet di kaca jendelanya, tawanya kering melengking, mengendap-endap, meneteskan darah anyir hitam mengilat.

Jadi, ada apa dengan lampu nyala mati itu? Apakah ada seseorang di sana, melawan para monster, membunuh mereka dengan cahaya? Mustahil, pikirnya. Kilatan cahaya kuning yang mengalir di pipinya yang kemerahan, menyilaukan mata dan mewarnai rambut hitam keritingnya dengan warna hijau muntahan. Pencerahan yang tiba-tiba datang lebih terang dari cahaya itu sendiri!

Monster-monster itu memanggilnya, memanggil semua anak untuk datang dan melawan mereka untuk selamanya. Kepastian ini juga dirasakan Mahesa, lebih nyata daripada fakta bahwa dia tidak memiliki suara.

Mahesa menarik napas dalam-dalam dan menelannya. Nyeri rasanya. Dia harus melakukannya, bahkan jika tidak ada anak lain yang berani ikut dengannya. Lebih dari segalanya, lebih dari dia ingin memiliki banyak teman dan menjadi bintang karate, Mahesa ingin membuktikan bahwa menjadi bisu tidak membuatnya tidak kompeten dalam segala hal yang dia lakukan, dan ini bisa menjadi satu-satunya kesempatan yang pernah dia dapatkan. Dia tidak perlu berbicara dengan monster, dia hanya harus melihat mereka dengan matanya dan memukul mereka di titik yang mematikan. Dan bahkan jika dia gagal, dia tahu dia berani.

Mahesa bukanlah anak delapan tahun yang biasa.

Dia turun dari ambang jendela dan menuju ke lemarinya, dan menemukan tongkat kayu dan masker pelindung wajah milik ayahnya: senjata dan baju zirahnya. Dia memakai topeng itu ke wajahnya. Terlalu besar untuknya dan masih berbau tembakau dan keringat, tapi ini adalah bau ayahnya dan dia merasa aman di balik masker tahan api. Tongkat kayu yang dipakai untuk berlatih karate dua kali tinggi tubuhnya, tapi dia memegangnya dengan percaya diri dengan dua tangan dan memutuskan untuk segera pergi sebelum kehilangan nyali.

Mahesa meninggalkan kamarnya dan buru-buru menuju pintu depan dengan telanjang kaki, karena lorong yang gelap dan sempit itu cukup menakutkan dan dia tidak ingin ketakutan. Dia berhenti dan memegang gagang pintu, memastikan dia bisa mendengar ibunya tidur, dan memang dia mendengar dengkur yang berirama. Sebagian dari dirinya hampir berharap bahwa ibunya terbangun dan memergokinya, tetapi dia membuang pikiran itu dengan sedikit keberanian melangkah keluar pintu.

Ketika mencapai puncak bukit yang gundul, Mahesa meaikkan topengnya ke atas kepala, mendongak untuk menatap rumah dalam sudut pandang maksimal. Kayunya melengkung diazab cuaca dan memiliki bekas luka. Cat putihnya luruh dan terkelupas serupa sulur-sulur panjang berjamur. Atapnya berbintik-bintik dengan karat. 

Jalinan tanaman merambat menempel padanya, bergoyang tertiup angin seperti rambut kusut acak-acakan. Tanaman merambat yang membungkus seluruh rumah seperti kanker ganas yang dilihatnya di kanal pengetahuan di televisi. Mencengkeram membentuk selaput tipis, berkelok-kelok seperti jaring laba-laba hitam di jendela yang buram. Lonceng angin berdenting dengan serak di suatu tempat yang tinggi dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding. Pita peringatan kuning berdesir dan terputus di beberapa bagian.

Ketika Mahesa melihat pintu terbuka, dia mengira monster-monster itu telah melarikan diri dan berkeliaran di kota, tetapi dia tahu dia harus memeriksanya dengan pasti.

Jantungnya berdegup kencang seakan mencoba keluar dari dadanya, tapi wajahnya tetap tenang dan diam.

Dia maju, selangkah demi selangkah. Topengnya kembali ditarik untuk melindungi wajahnya dan tongkat kayu tegak bersiap untuk memukul di genggamannya.

Berbeda dengan yang lain, Mahesa tidak memaksa dirinya masuk melalui pintu yang rusak dengan gampang. Bagi Mahesa, ini lebih dari sekadar rumah tua dengan lampu yang berkelap-kelip. Baginya, bangunan iitu adalah entitas setua zaman, wadah untuk semua pesona gelap dan fantasi jahat yang menodai kehidupan, merusak kebenaran dan membuat manusia menerimanya dengan ketakutan. Bayangan raksasa yang menjulang di atasnya dan membuatnya menggigil di malam musim kemarau yang panas adalah pertanda di luar yang bisa diproses oleh pikirannya yang masih muda.

Dia hanya tahu bahwa ketika rumah itu dirubuhkan besok, sama saja dengan membiarkan kekuatan jahat yang ada padanya lepas dan memangsa semua orang dengan cara yang mengerikan dan tak dapat dijelaskan. Sekarang dia tahu pasti bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Dia harus masuk dan menemukan jantung kejahatan dan menghancurkannya, apapun itu. Dia tahu bahwa ketika dia masuk ke dalam dia tidak akan pernah sama lagi.

Bocah lelaki bisu itu benar, hanya saja dengan cara yang tidak akan pernah dia bayangkan, bahkan dalam mimpi buruknya yang paling nyata dan mengerikan.

Dia masuk ke dalam.

***

Ketika Maya Sumangando masuk, semuanya menjadi gelap gulita. Lampu tak lagi berkedip, dan satu-satunya tanda kehidupan hanyalah dengungan serangga dari luar dan napasnya yang memburu dan nyaring. Bagi Maya, seluruh dunia telah menjadi gelap.

Dia berdiri di ambang pintu, linglung, hampir selama satu menit lupa di mana berada. Kemudian, dari kegelapan, dari sebuah ruangan mulai berkedip dengan pola yang sama seperti beberapa saat sebelumnya. Terkejut dengan hal ini, Maya mulai berjalan lurus ke arah cahaya, membiarkan rumah menelannya, kakinya yang sekurus tulang dibalut kulit nyaris tak terdengar di lantai papan yang kotor berdebu.

Saat Maya semakin dekat, cahaya berkedip semakin cepat. Jantungnya berdebar keras melompat ke tenggorokan, menghantam indra penglihatannya. Udara apak menggesek paru-parunya yang lemah seperti amplas saat dia maju lebih cepat menuju cahaya yang menghinoptis, maju karena dipengaruhi kekuatan tak dikenal yang membawanya ke sini, kekuatan yang sama yang membuatnya membuang isi rongga perutnya malam demi malam.

Ketika hanya beberapa senti lagi dari pintu yang terbuka, cahaya berkedip-kedip semakin kuat sehingga dia tidak bisa lagi membedakan antara terang dan gelap. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, Maya Sumangando dari Jalan Kawi No. 34 melangkah masuk di bawah pengaruh sorotan Lampu Kuning.

***

Ketika Gibran tertatih-tatih masuk beberapa menit kemudian, rumah itu menyambutnya dengan cara yang sama. Lampu-lampu padam seketika, menyelimutinya dalam gelap pekat yang sempurna selama satu menit penuh. Anak-anak sialan itu mencoba menakut-nakutinya.

Tidak ada cahaya sama sekali yang menembus dari luar, seolah-olah rumah itu dikelilingi oleh penghalang yang tak terlihat. Hal ini menurutnya aneh, tetapi dia mengabaikannya begitu melihat cahaya baru muncul dari ruangan di sebelah kirinya.

Dia bergegas menuju ke arah cahaya dengan gaya berjalannya yang tergesa-gesa, menyeret kakinya yang pincang. Dia akan menangkap pelakunya sekarang.

Papan lantai berderit karena berat badannya, dan tongkatnya menambah riuh saat menghantam dengan serangkaian gedebuk tumpul dan tak teratur. Cahaya yang menyilaukan menembus tengkoraknya dan meledak di kepalanya seperti meteor menabrak permukaan planet. Dia melindungi wajahnya dengan lengan dan berjalan dengan membabi buta, menghantam dinding dengan tongkatnya, merusak jaring laba-laba yang menahun usianya dan memaki-maki berandalan yang belum dilihatnya.

Pintu mendadak menutup di belakangnya. Dia berbalik dengan kikuk dan menekan grendelnya berkali-kali tanpa hasil.

"He, anak-anak nakal, di mana kalian?" dia berteriak dalam gelap.

Tak ada yang mendengarnya.

Tidak juga Maya yang berdiri lima meter darinya, mencoba untuk tidak menjerit.

***

Firni Voermann menerobos masuk ke dalam rumah persis seperti pencuri, dan kemudian baru teringat bahwa dia tidak terlalu tangguh ketika lampu mati dan tetap mati cukup lama. Nah, akhirnya, pikirnya. Dia baru saja hendak keluar jika saja ekor matanya tidak melihat cahaya yang berkedip di sisi kanan. Dia mempertimbangkan pilihannya sejenak.

Jika dia pulang sekarang, tidak diragukan lagi dia akan menghabiskan berjam-jam menangis sampai tertidur. Jika dia tinggal di sini untuk menyelidiki, dia bisa mengalihkan perhatiannya. Setidaknya untuk sementara waktu. Dia bisa melampiaskan semua amarahnya kepada siapa pun yang bermain-main dengan lampu ini.

Firni Voermann mungkin memiliki otak yang kerdil, tetapi dia tetap membuat pilihan yang tepat untuk dirinya sendiri. Atau setidaknya, begitu pikirnya.

Dia menuju ke arah cahaya, langkahnya bergemuruh di ruang lembap, matanya nyalang menatap liar, rambutnya acak-acakan, dan riasan wajahnya berantakan seperti orang gila. Tidak akan ada yang membela Firni Voermann. Tak seorang pun.

***

Ketika Mahesa masuk, pintu menutup dengan sendirinya di belakangnya, menghempaskan udara dingin berdebu, memicu kegelapan yang mencekam. Membeku di tempat, Mahesa mencengkeram erat tongkat dalam genggaman tangannya yang berkeringat, dengan putus asa berpegang teguh pada keberanian yang hilang, meninggalkan dirinya pada saat-saat terakhir dan tidak ada yang tersisa darinya, bahkan meski hanya sebesar debu. Kegelapan tampak tak terbatas, dan kesunyian begitu pekat sehingga dia merasakannya tercekik oleh sekelilingnya. Telinganya berdengung, sepertinya pembuluh darahnya membengkak. Udara dibumbui dengan debu yang terasa berpasir di mulutnya yang terbuka, mengi, seperti mengecap makanan basi.

Benar-benar hening tanpa suara, sehingga dia merasa seluruh bangunan di sekitarnya bukanlah sebuah rumah sama sekali, tetapi makhluk hidup yang menahan napas. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak membawa senter. Piyamanya sudah penuh dengan keringat dingin dan matanya melotot nyaris keluar dari rongganya, putus asa mencari setitik cahaya.

Dan doanya terkabul. Dia melihat seberkas cahaya bersinar dan memudar di dinding atas di depannya, yang sumbernya berada di sudut paling kanan rumah. Mahesa memutar tongkat toya di tangannya perlahan-lahan, mengamati cahaya yang menari dan menggodanya di dinding melalui topengnya. Puluhan serangga hitam besar yang tak terkatakan berterbangan di belakang cahayanya yang menyilaukan menyakitkan mata. Apa pun itu, ada di dalam cahaya, menunggunya. Tidak ada jalan untuk kembali sekarang.

Bersenjatakan tongkat kayu, Mahesa Nendra dari Jl. Kawi No. 32 sempat tersandung di kaki tangga, mendapatkan kembali keseimbangannya dan berjalan maju menuju Lampu.

***

Lampu padam ketika Maya Sumangando masuk, membuatnya tak bisa melihat isi ruangan. Ketika Lampu kembali menyala, dia bagai berada di rumah kaca taman hiburan. Ruangan itu penuh dengan cermin cekung dan cembung yang mengubah tubuhnya menjadi bentuk yang sangat lucu. Sdi salah satu cermin pantatnya selebar pantat truk gandeng; di cermin lain dia hanya hanya sepotong kulit yang lebih tipis dari selembar kertas. 

Maya berputar-putar dengan linglung, karena semua cermin terpantul satu sama lain membagikan bayangan yang tak terbatas. Ke mana pun dia memandang yang tampak tampilan menjijikkan dari Maya gemuk dan Maya kurus berulang-ulang. Seluruh obsesi paranoid bayangan tubuhnya membekuknya, dan pada saat dia mengira bayang-bayang akan menembus dirinya, lampu padam lagi dengan suara seperti barbel besi yang berat menghantam lantai beton.

Suara itu menyerang dengan raungan energi yang begitu tinggi sehingga Maya hampir tidak bisa mendengarnya, dan cahayanya sangat terang sehingga dia buta sementara. Rasa sakit menjalari setiap sel tubuhnya, seolah-olah dia dicabut dari kulitnya, dan ketika bercak kuning memudar dari matanya, memang benar kulitnya sudah terlepas. Lampu mencabut kulitnya seolah-olah dia menarik ritsleting dari punggung, dan apa yang dilihatnya di cermin tunggal adalah pengungkapan dari apa yang telah disembunyikan di bawahnya.

Dia bukan lagi Maya Sumangando dari Jl. Kawi No. 34, tetapi isi manusia yang terbuka, esensi yang dibebaskan oleh Lampu. Dia tidak menyadari apa pun sejak dia menundukkan kepalanya di toilet dan memuntahkan isi perutnya tadi, dan ketika dunia kembali padanya dalam kejernihan yang menakjubkan, meski ingin berteriak, namun ditahannya sejenak hanya karena dia menyadari dia sedang melihat dirinya sendiri.

Tangannya memegang perut tetapi tak terlihat, karena tertutup jeroan merah kental yang menjuntai keluar dari tubuhnya tetapi masih terhubung ke dalam. Rasanya panas di tangannya dan dia bisa merasakan denyut debar kehidupan, bisa merasakan sesuatu seperti hewan pengerat kecil menggeliat di dalam saluran ususnya yang berlendir.

Dia mengoleskan darah hangatnya ke wajah dan bahunya, bintik-bintik muncul di dada dan pipi. Kulitnya hanyalah lembaran keriput yang terbentang di atas bingkai kawat, wajahnya berkerut seperti mayat tua dan cairan gelap tajam mengucur dari matanya dari matanya yang bengkak. Rambutnya rontok menjadi serpihan rapuh seperti daun kering yang rontok di musim kemarau.

Lebih buruk lagi, dia bisa melihat kantung kosong dari kulit lamanya tergantung di kait seperti mantel, benda mengerikan dan yang menganga dengan lubang hitam di mana mata, mulut dan hidungnya berada. Sesaat kemudian cangkang elastis itu hancur menjadi debu hitam seolah-olah berusia seribu tahun.

Dan bayangan di cermin itu adalah Maya Sumangando yang asli: kerangka yang mempersembahkan isi perutnya untuk apa pun yang akan membebaskannya dari semua kotoran, korban dari obsesi kesempurnaan ragawi dunia.

***

Ruangan itu menyalak dengan suara gemuruh guntur, dan Gibran tua yang galak mengayunkan tongkatnya bagai orang gila. Marahnya terlalu sehingga dia benar-benar mengira benda yang dia pukul adalah lutut dan tengkorak anak-anak sialan itu.

Ketika dia menyadari yang terdengar bukan teriakan kesakitan permohonan belas kasihan tetapi suara kaca pecah berkeping-keping, Gibran tua membeku. Tongkat di atas kepalanya bagai palu godam Thor, nafasnya tersengal-sengal mengi saat butiran keringat lemak berkilauan di alisnya yang beruban.

Gibran menurunkan tongkatnya dengan wajah dungu ketika melihat bahwa dia berdiri di atas tumpukan tangan dan kaki serta wajah keramik yang pecah, sisa-sisa jutaan boneka porselen mungil yang hancur.

Boneka-boneka itu berserakan bagai lautan menggapai ke langit-langit di dinding, dengan gaun berenda merah muda, topi lebar putih, dan mata marmer. Mereka adalah rakyatnya, hamparan sempurna, cangkang tanpa jiwa untuk mendiami dunianya yang sempurna dan tak bernyawa.

Mata yang tidak bergerak menatapnya dari segala arah, tidak pernah meminta untuk dicintai dan tidak pernah mengkhianatinya. Semuanya hanya menatap, dan menatap.

Ketika dia mundur ke pintu terkunci di ceruk kecilnya yang kosong, boneka-boneka itu berkumpul bersama seolah-olah mereka satu makhluk hidup, membentuk dinding tipis di hadapannya. Denting porselen, tembok penghuni dunia yang tidak dapat merasakan. dan tidak bisa mencintai, pembatas warga yang hanya diam dan menatap pemiliknya saat mereka tidur. Dinding tipis itu pecah berantakan dan boneka-boneka itu roboh menimpa Raja mereka, menenggelamkannya di lautan tangan yang sedingin es, rambut kuning muda dan bibir merah delima yang kaku.

Bisa dipastikan dia akan mati di sini, dikelilingi oleh pasukan berjuta boneka yang hidup. Dan saat dia berkubang keramik dingin yang berat, mata mereka masih menatap, dan terus menatap, dia berharap dia tak pernah menjadi Raja sama sekali.

Mendadak lampu padam. Dia bernafas leg, paru-parunya terbebas dari tekanan yang menyiksa. Dia tidak bisa merasakan ada yang menghimpitnya kecuali kegelapan. Gibran buru-buru berdiri dengan canggung, siap untuk melawan serangan supranatural berikutnya, yakin dia akan menang kali ini. Dia siap untuk apa pun, apa pun.

Kecuali apa yang akan dia lihat di cermin beberapa saat kemudian.

Lampu menyerangnya dengan ledakan cahaya penderitaan putih yang panas membara, merobek lapisan pembatas kebenaran dan kebohongan, seakan tak lebih dari selembar kertas tipis.

Gibran merosot ke lantai, buta dan terpesona. Dan ketika akhirnya dia bangkit, dia bangkit kembali, dia bangkit sebagai bagian dari zat yang terbiaskan oleh tindakan yang tak dapat diubah lagi. Dia sangat ingin berteriak, tetapi ketika dia membuka mulut, tenggorokannya yang kering tidak bisa mengeluarkan apa-apa selain debu gipsum.

Seputih kapur dari kepala sampai kaki, wajahnya pucat tak bagai hantu yang padat. Mengenakan jubah hijau dan benang prada yang berlubang dimangsa ngengat, pas dengan tubunnya seperti gorden jendela. Dan ketika dia merobeknya, dia melihat tubuh pucatnya tidak berbentuk sama sekali, hanyalah manekin mulus berkapur dengan lengan dan kaki terpasang pada sambungan yang tajam dan tak alami, retak menumpahkan bubuk kapur saat dia bergerak.

Gibran benar-benar hampa di dalam. Dia bisa mendengar di kepalanya yang kosong udara berkesiut dalam tubuhnya. Kembali mencoba berteriak lagi, tetapi tak ada paru-paru dan pita suara, hanya ruang kosong hitam, cetakan kapur gipsum yang meluruh. Di atas kepalanya yang tak berambut ada mahkota perak imitasi bertatahkan permata plastik, dan di tangannya tongkatnya telah menjadi tongkat berbentuk batang korek api yang setengah terbakar.

Dia berdiri seperti patung: Manusia Hampa, Penderita Kusta, apa saja, kecuali Gibran. Ketika dia melihat kulitnya yang lepas menjuntai di atasnya seperti kantong plastik, dia meraihnya dan entah bagaimana bisa masuk lagi ke dalamnya, hanya untuk membuat lengannya patah di bahu dan jatuh pecah berkeping-keping di lantai. Namun Manusia Hampa tak berdarah, tak merasakan apa-apa. Manusia Hampa hanya berdiri, bengkok asimetris, kosong dari semua hal ihwal manusia yang sangat dibencinya.

Berdiri tegak tak bergerak, Sang Raja Ketiadaan.

***

Ketika Lampu padam, Firni Voermann mendengus dengan tak sabar dan menendang pintu yang terkunci dengan sepatu plastiknya, dan langsung menyesalinya.

Dia mengelus jempol kakinya dengan ibu jari. Lidahnya melontarkan kata-kata tak senonoh yang semakin vulgar karena suaranya yang serak oleh nikotin.

Otak kerdilnya yang busuk sama sekali tidak memahami bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi padanya. Firni hanya tahu bahwa dia sedang marah besar dan seseorang harus merasakan pembalasannya yang keji.

Dan dia akan melakukannya.

Tiba-tiba Firni dihadapkan pada sembilan pemuda yang berderet dengan pakaian perlente. Telapak tangan mereka terulur mengajaknya berdansa.

Jangan berasumsi bahwa ada di antara mereka yang berwajah tampan, karena mereka sama sekali tidak memiliki wajah. hanya kulit serupa kanvas kosong dari dahi hingga dagu.

Karena sudah berdandan untuk menghadiri acara pesta, Firni merasa tidak mungkin menolah para pria tanpa wajah yang atletis, jadi dia memilih yang di tengah dan membiarkannya memimpin.

Firni berdansa dengan Belahan Jiwa, berbalik dan melenggok, berputar-putar di ruangan yang sederhana saat yang lain menonton, bertepuk tangan pada keanggunan yang mereka saksikan tanpa bola mata.

Dada Firni membusung dalam egomania dan dia membelai wajah pasangannya, tak peduli bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di sana karena Belahan Jiwa tidak pernah benar-benar memiliki wajah. Wajah tidaklah penting. Dunia ini penuh dengan hal-hal tak bermuka dan tidak penting di hadapan Firni Voermann yang megah, yang terkenal sebagai pusat gravitasi dan gaya melingkar, pasang surut, semua musim dan mata angin serta hal lain yang membuat alam semesta terus ada dalam harmoni yang sempurna.

Tidak ada yang berwajah nyata jika dibandingkan dengan Firni Voermann, yang yakin dirinya adalah Sang Dewi Pujaan.

Apa yang telah diberikan Tuhan, maka Dia bisa mengambilnya kembali kapan saja.

Dan tanpa peringatan, Firni mendapati dirinya sendirian dalam kegelapan sekali lagi, tidak lagi berputar-putar dalam kepalsuan.

Lampu menghajarnya dengan petir dan kilat, memisahkan kebohongan mengerikan dari kebenaran yang bahkan lebih mengerikan dan menggantikan waham palsu dengan kebobrokan sejati.

Sang dewi pujaan dilemparkan dari singgasananya yang meledak hancur berantakan dan tidak pernah utuh lagi.

Ketika Firni tersadar, dia tidak lagi melihat dunia melalui sudut pandang yang normal. Penglihatannya diacak-acak dengan dua lusin cara berbeda, seperti dia sedang melihat melalui prisma berlian.

Dia mengedipkan matanya, dan yang berkedip bukanlah kelopak mata manusia, melainkan lapisan kuning tembus pandang yang kental dengan lendir. Melihat melalui dua kaleidoskop, kakinya tersandung sepatu imitasinya, tangannya berayun untuk menjaga keseimbangan, dunia berputar di sekelilingnya membentuk pola fantasi.

Kerangka luarnya menabrak dinding dengan suara keras yang mengerikan, seperti menginjak kaleng minuman sampai meletup. Dan tanpa sadar cairan kimia merah terang menyemprot dari dua lubang kecil di wajahnya; tanda untuk memberi tahu kaumnya bahwa dia dalam kesulitan.

Gas menyebar ke seluruh ruangan, udara berkabut merah muda bagai kekurangan kandungan oksigen.

Saat dia mundur dan mengulurkan tangan untuk memeriksa bagian tubuhnya yang terbentur, Firni tahu, tanpa pernah belajar sebelumnya, tentang bagaimana serangga berkomunikasi. Indra pembaunya adalah segalanya.

Tangan mulusnya dengan kuku yang terawat indah berkibar di atas kepalanya karena panik, dan ketika akhirnya menyentuh antena yang bengkok dan terluka, kebenaran menjadi jelas bahkan bagi seorang idiot sepertinya.

Dunianya berputar. Sambil mengerang dan berbalik, dirinya menghadap cermin secara kebetulan. Terlempar dari keseimbangan oleh antenanya yang rusak, Firni merangkak dengan tangan dan lututnya yang berdarah. Tercermin di matanya, dua puluh empat Firni merangkak kembali padanya.

Hanya dari leher ke bawah yang merupakan manusia. Firni telah lahir kembali dengan kepala kehijauan.

Kepala aneh dari belalang sembah.

Seperti orang lain sebelum dia, seperti yang dilakukan siapa pun di seluruh dunia, Firni Voermann membuka mulut penangkap lalatnya dan berteriak.

Dari rongga lubang yang kering itu terdengar suara mendesis dan bau busuk minuman bercampur dengan tembakau. Lelah dan terdiam, Firni membiarkan perabanya menempel di cermin, merasakan kehalusan sempurna kaca yang dingin. Dia berkedip berulang kali, berharap itu semua hanyalah ilusi, melapisi mata hitam aliennya dengan lapisan lendir baru yang mungkin dimaksudkan sebagai air mata.

Meskipun dia tidak pernah lebih baik dari siapa pun, sepanjang hidupnya Firni menganggap setiap menit tindakannya sebagai ekspresi seni. Ketika ada yang berbalik melawannya, dia memutuskan itu hanya karena dia terlalu baik untuk mereka. Dia terlalu baik untuk sekolahnya, terlalu baik untuk orang tuanya, tapi di atas segalanya Firni terlalu baik untuk Belahan Jiwa.

Sekarang dia benar-benar bisa menunjukkan belas kasihan kepada Belahan Jiwa. . Sekarang dia benar-benar bisa menggigit kepalanya dan menyelamatkannya (siapapun dia) dari penderitaan fana hidup tanpanya, karena Firni Voermann terlalu baik untuk hidup tanpa Firni Voermann.

Tapi tidak ada, bahkan Firni Voermann sekali pun, yang terlalu bagus untuk Lampu.

Sama sekali tidak ada.

***

Ketakutan tak berujung, Mahesa Nendra berdiri di ruangan gelap dengan tongkat teracung dan mulut ternganga. Entah berapa lama dia berdiri menunggu.

Dia mengukur detik dengan detak jantungnya, sekaligus memastikan bahwa dia masih hidup. Dia menunggu Lampu menyala, dan kalau Lampu itu menyala, dia akan menemukan jantung yang hitam. Jantung hitam yang berdegup tak wajar karena aritmia. Jantung yang menghitam oleh buah kuldi busuk.

Dia akan menemukannya dan dia akan membunuhnya. Dia akan meremasnya dengan tangan sampai pecah seperti balon berisi air. Dia akan perikardium dengan giginya dan menggerogoti atrium dan ventrikel hingga habis terbuang percuma. Dia akan melakukannya dan dia akan melawan setiap monster yang mencoba melindungi si jantung hitam, karena jantung hitam adalah kekuatan yang menghidupkan semua monster, semua mimpi buruk dan semua kejahatan. Mahesa akan menghancurkan mereka semua.

Mahesa menunggu sampai akhirnya jantungnya menjadi satu-satunya benda di dunia yang dapat menghasilkan bunyi, sampai rasanya hanya itulah satu-satunya ada di dunia.

Telinganya berdenging karena tekanan yang kuat di kepala. Pembuluh darahnya menegang di bawah kulit seperti cabang pohon di musim kemarau dan paru-parunya berkibar kencang di dadanya seperti sayap terluka.

Kegelapan masih menguasai dan mengawasinya, mengharapkannya menderita, menatap dan menunggu seperti dia. Menunggu dia meledak.

Mahesa merasa seolah-olah dia sedang ditekan hingga remuk. Dia jatuh ke lantai dan melepaskan topengnya, memegangi rambut ikalnya yang lembap dengan kedua tangan, berharap dia bisa membelah batok kepalanya dan membiarkan teror meledak dari otaknya. Wajahnya yang sepolos bayi berkerut, menjerit dan menjerit. Kemudian diam.

Ketika Mahesa membuka matanya lagi, Lampu telah menyala. Dia bisa melihat bahwa jantung hitam dan monster yang menyiksa pikirannya hanyalah khayalan kekanak-kanakan. Dia dikelilingi oleh empat dinding yang gelap hitam seakan hangus oleh nyala api.

Tidak ada apa-apa di ruangan itu kecuali bangku kayu. Di atasnya telepon kuno dengan kabel keriting dan piring putar dengan lubang jari bernomor. Begitu Mahesa melihatnya, telepon mulai berdering begitu keras sampai-sampai dinding bergetar, berdering dan menjerit-jerit dan Mahesa tahu, dering itu tidak akan berhenti sampai dia mengangkatnya.

Perlahan-lahan dan hati-hati dia berdiri. Wajahnya panas dan berkeringat, rambutnya kusut masai seperti tanaman perdu liar.

Perlahan dia mendekat. Dering menjadi raungan melengking yang menusuk, membuat matanya berguncang di rongganya.

Ketika tangannya yang gemetar hendak meraih gagang telepon, Mahesa menyadari bahwa pesawat telepon itu tidak terhubung ke mana pun. Panggilan misterius itu datang dari tempat lain. Atau dimensi lain.

Dia meletakkan tangannya di atas gagang telepon yang sedingin es, membiarkan satu raungan lagi yang menyayat otak, dan mengangkat telepon ke telinganya.

Tidak ada apa pun selain desau statis yang menggetarkan gendang telinga, jadi dia menunggu. Napasnya yang berat mengembun menjadi kabut panas di gagang telepon.

Halo? Halo? HALO?

Tenggorokannya berjuang untuk mengucapkan kata itu, tetapi rasanya seperti mencoba menelan udara yang beracun.

"Mahesa? Bukankah kamu ingin bicara?"

Suara yang parau tersedak bagai salah satu saluran pembuangan yang tersumbat oleh jamur mengejar menusuk otak melalui saluran telinga Mahesa, menuju ke seluruh tubuhnya dan ke dalam celah terdalam jiwanya bercampur tawa angin kering badut iblis.

Mahesa lumpuh diserang radang dingin yang menjalar. Dia melemparkan pesawat telepon sekuat tenaga, menyaksikan benda itu meluncur dalam gerak lintasan parabola dan meledak dengan bunyi dering terakhir yang memekakkan telinga di dinding. Lalu Lampu padam.

Sekejap kemudian, Lampu-Lampu berada di atasnya dan marak lebih terang dari supernova. Mahesa kecil merasakannya dengan cara yang tidak bisa dirasakan oleh yang lain, merasakan Cahaya Lampu menembus cangkang lembut jiwanya dan mengisinya bukan dengan kegelapan biasa yang merupakan ketiadaan cahaya, tetapi kegelapan busuk berupa aspal dan lumpur. Dia merasakan jiwanya tenggelam dalam lumpur seperti dinosaurus kecil, tapi apa yang bisa dia lakukan selain membiarkannya?

Kesadaran itu menjadi inti yang memancar dalam gelombang, menerangi setiap sudut pikirannya dengan ketakutan yang paling menyakitkan. Lampu-Lampu menyala dengan intensitas maksimum membuat Mahesa hanya ingin berbaring idan berhenti. Dia hanya ingin berbaring dan membiarkan mereka mengambil semua yang mereka inginkan.

Dan Mahesa melakukan persis seperti itu. Dia membiarkan Lampu-Lampu menyerap kepura-puraan dan membiarkannya layu.

Mahesa bukanlah pahlawan. Dia hanyalah anak kecil yang lembut dan bisu yang terjebak dalam jubah manusia super jaket kumal. Pahlawan tidak ada, kata mereka.

Tidak ada yang nyata.

Tidak sama sekali.

Rasa sakit itu lambat laun mereda. Mahesa terduduk. Matanya berputar seperti kincir angin di balik kelopak mata, berdesir memunculkan bintang biru bagai film animasi, dan kepalanya berdebar-debar karena rasa sakit yang menusuk ke inti pikirannya.

Dunia di sekitarnya terasa kacau, sisi sudut pandang kabur dan berwarna seperti sedang mengintip melalui lensa yang tercemar air kotor.

Tidak ada lagi yang bersih normal, bahkan udara. Semuanya menggantung dan berat dengan aroma busuk lengket dari kabut yang mematikan. Semuanya buruk.

Mahesa berdiri. Otot-ototnya sakit karena demam yang menetap. Di lengannya muncul tato, bekas luka dengan hieroglif gelap kutukan purba. Dia memandangnya dengan kagum. Tanpa sadar kakinya yang telanjang dan kapalan melangkah ke arah cermin.

Berbeda dengan yang lain, pikiran untuk menjerit tidak terlintas di benaknya, karena dia tahu dengan kepedihan yang terkumpul dari semua frustrasi yang pernah dia rasakan. Dia tidak akan kuasa untuk menjerit.

Mahesa mengenakan tunik sutra putih era Yunani kuno, yang disatukan oleh cincin emas yang tergantung di bahu kanannya. Mahesa melihat logam di pundaknya tidak berharga dan ternoda.

Ini bukanlah hal pertama yang dia sadari.

Iblis duduk di bahunya, makhluk berbulu dengan dua sayap berbentuk bulan sabit yang berkepak hampir tak bernyawa di punggungnya yang berbulu dan kotor. Bertengger dengan dua kaki kurus cacat berujung cakar bersisik yang menari setiap kali bocah itu bergerak. Dua kakinya yang lain gemuk, berkuku, menjuntai sia-sia di sisi kiri makhluk itu.

Di lengan kecil berbulu yang keluar dari tubuhnya, binatang itu memegang tanduk baja melengkung yang berkarat karena usia. Mulutnya vakuola raksasa bergerigi yang menempel erat di belakang kepala Mahesa seperti lintah. Giginya tertanam di tengkoraknya sehingga benaknya terjebak dalam cengkeraman setajam pisau cukur. Makhluk tak berwajah, tapi di bulu-bulunya yang kusut lusinan mata hitam berkedip-kedip.

Makhluk itu duduk tenang di pundaknya tanpa bobot, menempati posisi yang hampir sepenuhnya tanpa menimbulkan rasa sakit, seolah-olah ingin memastikan tuan rumahnya nyaman senyaman mungkin.

Sejauh yang diketahui Mahesa, makhluk itu tidak berbahaya. Dan terlepas dari penampilannya, makhluk itu tampaknya melekat padanya bukan sebagai parasit, tetapi sebagai mitra abadi.

Makhluk itu adalah sahabatnya, mampu mendengarnya meskipun dia bisu. Dia merasa mereka berdua adalah insan di luar lingkup bahasa lisan. Mahesa tidak perlu berbicara untuk mengetahui bahwa dia dan makhluknya adalah sama, bahwa mereka bukan makhluk konvensional yang disalah mengerti, bahwa mereka saling melengkapi satu sama lain.

Mahesa mengulurkan tangannya dan menepuk surainya yang kaku kusut, otot cacing melingkar tersentuh jemarinya, lalu perlahan terurai dan mulai rileks.

Mahesa dengan lembut membelai makhluk yang pernah menghantui langit hitam dunia kehelapan.

Mulutnya ternganga seolah-olah ingin tertawa kegirangan, dan saat itu juga, nada keras melengking keluar dari tanduk berkarat makhluknya. Rahang Mahesa terkunci rapat karena kaget, tetapi di saat yang sama, dia mengerti dengan fakta yang tak terbantahkan: ketika dia berusaha bicara sehingga paru-parunya hancur karena maka tanduk monsternya menderu-deru, mengembik seperti domba yang terluka. Berbunyi membuat suara!

"Halo," dia berbisik, dan dari makhluk itu terdengar disonansi kasar. Namun, bagi Mahesa, terdengar seperti himne kemenangan. "HALO! HALO! HALO!"

Muka Mahesa merah padam keungu-unguan. Lidahnya berkepak-kepak penuh semangat di dalam mulutnya yang menganga. Matanya berputar ke belakang dalam gairah dan lengannya terangkat dan mengepal.

Semangatnya menyala-nyala. Dia sangat berterima kasih kepada Lampu. Dia berterima kasih kepada Lampu karena telah membebaskannya dari topeng kepalsuan yang dikenakan manusia tanpa sadar. Dia berterima kasih karena Lampu telah membuatnya bersinar.

Lengkingan suara tanduk menyenandungkan lagu pedih mencapai puncaknya. Sayap makhluk itu berkibar dalam pusaran bunyi, menembus dinding seperti petir menyambar. Tapi Mahesa tak berhenti, dia berteriak dan berteriak sampai paru-parunya meledak. Menyerah pada kekuatan Mahesa, pintu ke kamar terbuka. Semua pintu bebas terbuka.

Mahesa muncul di udara malam yang berkabut dan menyadari bahwa dia tidak pernah sendirian sama sekali saat dia melihat tiga tetangga sebelah yang bahkan tidak dia kenali. Yang dilihatnya kini adalah tiga mitra yang bergabung dengannya dalam permainan barunya. Dia menerima mereka bukan karena mereka diubah seperti dia, tetapi karena mereka adalah kebenaran. Kebenaran yang jujur dan terbuka.

Hilang dan akhirnya ditemukan. Mereka semua hanya ingin pulang. Mereka tidak yakin yakin pulang ke mana, tapi Mahesa Nendra dari Jalan Anggrek No. 32 dengan gagah berani memimpin mereka semua menuju ke dunia di luar dunia.

***

 Ketika petugas pembongkaran berikut alat-alat berat tiba keesokan harinya, mereka menemukan bahwa tidak ada yang tersisa dari rumah tua itu.

Bahkan tidak juga sebutir serbuk kayu.

Tidak sama sekali.

Bandung, 10 Juni 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun