Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika dia bosan dengan 'belahan jiwa'nya, Firni tak ragu-ragu mencampakkan lelaki malang itu dengan apa yang dia pikir hanyalah penderitaan sesaat serta kejantanan yang terluka. Dia tidak benar-benar mengira mereka semua mencintainya, bahwa dia telah menguleni mereka semua seperti tepung di bawah ibu jarinya, dan bahwa dia membuat hati mereka hancur berkeping-keping ketika mengatakan bahwa semuanya telah berakhir. Dia tidak pernah memikirkan gagasan mengerikan bahwa dia sangat berarti bagi mereka, dan terutama tidak sekarang, karena Rafi Kemas adalah belahan jiwanya.

Rafi Kemas sangat terlambat. Debu kuku, puntung dan abu rokok menumpuk berkumpul di meja, Firni mulai resah. Mungkin dia mengalami kecelakaan atau mungkin dia lupa atau mungkin dia tersesat! Setelah tiga jam menunggu tanpa telepon atau pesan, tampak jelas bahwa Rafi takkan datang. Dan meskipun Firni membencinya, dia lebih membenci dirinya sendiri.

Jari-jarinya menjadi panas di bawah gesekan kikir kuku yang karena frustrasi melukai kulitnya hingga terkelupas dan berdarah. Terkejut sendiri, dia berteriak kesakitan dan melemparkan kikir kuku, seolah-olah mencampakkan rasa sakitnya kepada belahan jiwa yang tak datang juga. Dan lampu itu! Lampu yang menjengkelkan dan mengejek itu! Persetan, dia sendiri yang akan mematikannya!

Firni melangkah ke arah bukit, tumitnya berderak keras dan ujung gaun merahnya berdesir menggesek pahanya. Dia terpeleset di jalan licin dan kedua lututnya memar. Dia merangkak sepanjang sisa perjalanan menuju lampu yang mengejeknya dan menyalahkan mereka atas segalanya. Akhirnya dia muncul di puncak bukit, berlumuran darah bercampur tanah, maskara murahan luntur di pipi bagai tinta cina. Dia menyapunya dengan tangan, mencoreng wajahnya bagai prajurit perang, menggeram liar, dan masuk ke dalam.

***

Mahesa Nendra dari Jalan Kawi No. 32 bersimbah keringat dingin, tersadar dari kekerasan mimpi buruk yang mengerikan saat lampu dengan pola denyut semesta menerangi tirai kamar tidurnya. Dalam mimpinya dia dikejar oleh badut berkostum polka dot dengan mata hitam dan gigi bergerigi yang meneteskan cairan merah. 

Tawanya melengking seperti deru angin dan sepatu badut merahnya yang besar seolah-olah penuh dengan air saat berlari mengejar Mahesa dengan cepat ke depan, cakar setannya yang seperti kepiting terulur dan berdecit. Menjadi bisu sejak lahir, Mahesa tidak bisa berteriak dalam mimpi seperti dia sebenarnya di kehidupan nyata, tenggorokannya berdecit seperti terompet yang tersumbat saat badut iblis menyambarnya dengan cakar kepitingnya dan mengangkat wajahnya terlebih dahulu ke dalam bergerigi, tajam. lubang rahangnya.

Mahesa duduk tegak, gemetar karena goncangan gempa susulan dari mimpi buruknya, rambut hitam melengkung berbetuk koma menempel di dahinya yang berkeringat.

Suara gemericik bergelembung bergema di benaknya saat bocah lelaki itu mengusap dahinya dengan sarung bantal dan bernapas melalui mulutnya, berharap ada suara yang keluar, berharap dia bisa menangis untuk ibunya.

Seperti biasa tidak ada yang terdengar kecuali bisikan parau kasar dari nafasnya. Betapa dia berharap dia bisa mengatakan hanya satu kata, kata apapun! Bahkan jika kata itu adalah kata paling jorok, bahkan jika Mahesa diizinkan untuk mengatakannya hanya sekali seumur hidupnya, dia akan mati sebagai orang yang paling bahagia di muka bumi.

Saat dia tidak bisa menjawab dengan gerakan kepala atau tangan, Mahesa berkomunikasi dengan papan tulis dan spidol. Sungguh memalukan ketika harus menuliskan jawaban daripada mengucapkannya, harus takut orang lain akan bosan dan pergi setelah beberapa percakapan kecil, yang selalu mereka lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun