Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbeda dengan yang lain, Mahesa tidak memaksa dirinya masuk melalui pintu yang rusak dengan gampang. Bagi Mahesa, ini lebih dari sekadar rumah tua dengan lampu yang berkelap-kelip. Baginya, bangunan iitu adalah entitas setua zaman, wadah untuk semua pesona gelap dan fantasi jahat yang menodai kehidupan, merusak kebenaran dan membuat manusia menerimanya dengan ketakutan. Bayangan raksasa yang menjulang di atasnya dan membuatnya menggigil di malam musim kemarau yang panas adalah pertanda di luar yang bisa diproses oleh pikirannya yang masih muda.

Dia hanya tahu bahwa ketika rumah itu dirubuhkan besok, sama saja dengan membiarkan kekuatan jahat yang ada padanya lepas dan memangsa semua orang dengan cara yang mengerikan dan tak dapat dijelaskan. Sekarang dia tahu pasti bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Dia harus masuk dan menemukan jantung kejahatan dan menghancurkannya, apapun itu. Dia tahu bahwa ketika dia masuk ke dalam dia tidak akan pernah sama lagi.

Bocah lelaki bisu itu benar, hanya saja dengan cara yang tidak akan pernah dia bayangkan, bahkan dalam mimpi buruknya yang paling nyata dan mengerikan.

Dia masuk ke dalam.

***

Ketika Maya Sumangando masuk, semuanya menjadi gelap gulita. Lampu tak lagi berkedip, dan satu-satunya tanda kehidupan hanyalah dengungan serangga dari luar dan napasnya yang memburu dan nyaring. Bagi Maya, seluruh dunia telah menjadi gelap.

Dia berdiri di ambang pintu, linglung, hampir selama satu menit lupa di mana berada. Kemudian, dari kegelapan, dari sebuah ruangan mulai berkedip dengan pola yang sama seperti beberapa saat sebelumnya. Terkejut dengan hal ini, Maya mulai berjalan lurus ke arah cahaya, membiarkan rumah menelannya, kakinya yang sekurus tulang dibalut kulit nyaris tak terdengar di lantai papan yang kotor berdebu.

Saat Maya semakin dekat, cahaya berkedip semakin cepat. Jantungnya berdebar keras melompat ke tenggorokan, menghantam indra penglihatannya. Udara apak menggesek paru-parunya yang lemah seperti amplas saat dia maju lebih cepat menuju cahaya yang menghinoptis, maju karena dipengaruhi kekuatan tak dikenal yang membawanya ke sini, kekuatan yang sama yang membuatnya membuang isi rongga perutnya malam demi malam.

Ketika hanya beberapa senti lagi dari pintu yang terbuka, cahaya berkedip-kedip semakin kuat sehingga dia tidak bisa lagi membedakan antara terang dan gelap. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, Maya Sumangando dari Jalan Kawi No. 34 melangkah masuk di bawah pengaruh sorotan Lampu Kuning.

***

Ketika Gibran tertatih-tatih masuk beberapa menit kemudian, rumah itu menyambutnya dengan cara yang sama. Lampu-lampu padam seketika, menyelimutinya dalam gelap pekat yang sempurna selama satu menit penuh. Anak-anak sialan itu mencoba menakut-nakutinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun