Aku yakin Nenek adalah zombie.
Dia tidak pernah berbicara, hanya mendengus dan mengerang. Baunya juga tidak enak, dan dia selalu berliur.
Memang tidak selalu yang diam, berbau, dan mengeluarkan air liur adalah monster. Tapi aku tetap yakin dia zombie.
Aku tidak mengatakan apa-apa tentang itu kepada Ibu dan Ayah, karena aku rasa, sebagai anak kecil, aku tidak seharusnya tahu. Orang dewasa menganggap anak-anak sangat bodoh. Lugu, itulah yang mereka pikirkan tentangku. Berani taruhan, mereka bahkan tidak tahu kalau aku tahu kata itu. Aku suka buku dan punya banyak waktu untuk membaca. Bersembunyi di gudang sepanjang hari, aku belajar semua jenis kata. Misalnya, aku belajar bahwa kata lain zombie adalah lazarus syndrome, yang berarti seseorang yang kembali dari kematian. Meski sudah dewasa, Ibu dan Ayah tidak tahu kata-kata itu.
Pasti kamu pikir hidup lagi setelah mati adalah hal yang bagus. Bisa bertemu keluarga dan teman yang sudah lama tidak kamu temui, karena kamu sudah lama tidak hidup dan sebab-sebab lainnya.
Tetapi orang mati yang hidup lagi tidak butuh keluarga atau teman. Mereka hanya ingin makan otak segar. Itu sebabnya kami tinggal di loteng. Zombi mengira rumah kami kosong karena di bawah gelap tanpa pergerakan, dan mereka tidak dapat mendengar atau mencium bau kami di kamar atas.
Ibu dan Ayah membeli banyak makanan beku ketika berita tentang zombie merebak, jadi kami punya banyak perbekalan, setidaknya untuk saat ini.
Ibu membuat semacam bubur untuk Nenek dengan blender setiap malam. Aku tidak tahu apa isinya, tapi kelihatannya tidak enak, dan baunya bikin muntah.
Ayah mengira seorang ilmuwan yang digaji pemerintah akan menemukan obatnya suatu hari nanti. Dia mengatakan pemerintah tahu tentang penyakit itu sebelum menyebar, dan bahkan mungkin sudah memiliki vaksinnya, hanya saja belum cukup untuk menyembuhkan semua orang.
Ibu bilang Ayah berhalusinasi. Aku belum tahu kata 'berhalusinasi', tapi kedengarannya tidak enak. Mungkin itu sebabnya Ayah membawa Nenek ke sini. Setelah Ayah mengubah loteng jadi kamar, dia pergi ke panti jompo dan kembali bersama Nenek. Saat itulah aku mengira dia mungkin zombie untuk pertama kali. Dia tidak pernah mebawa koper dan Nenek sebelumnya.
Kurasa Ayah berharap jika kita menahan Nenek di sini, dia tidak akan ditembak polisi atau kepalanya dikapak penjaga malam karena menggigit orang, dan suatu hari nanti dokter akan menyembuhkannya.
Tubuh Nenek dingin, dan kulitnya terasa kasar dan berkerut, tapi aku tetap menciumnya setiap malam sambil mengucapakan selamat beristirahat. Dan meski sudah setahun lebih, aku tetap yakin bahwa dia adalah zombie. Zombie yang berperilaku sangat baik. Dia tidak pernah mencoba menggigitku atau Ayah, hanya mencoba menggigit Ibu sekali dua. Ibu berkata, "Lihat, dia tidak pernah menerima aku."
Nenek suka berkeliaran di lantai bawah dan tersandung pada perabotan. Dia bahkan tidak keberatan jika aku merias wajahnya seperti badut dengan riasan milik Ibu. Namun, ibu tidak terlalu setuju dengan hal itu.
Hal yang paling menarik tentang Nenek-ketika dia masih hidup-adalah giginya.
Waktu pertama kali Nenek mengeluarkan giginya dari mulut, aku terpesona. 'Terpesona' adalah kata ketika kamu melihat orang melakukan hal-hal menakjubkan seperti mencabut gigi dari mulut atau kembali dari kematian, meskipun hal itu kini sudah tidak membuatku terpesona.
Itu juga sebabnya aku diam-diam tahu bahwa Nenek adalah zombie. Aku tidak takut padanya.
Seperti Nenek, aku juga tidak tahu di mana Ayah menyembunyikan giginya.
Bandung, 6 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H