Aku tidak akan pernah melupakan lelaki gelandangan di Masjid Al Ikhlas, masjid kampungku.
Bermula pada hari-hariku sebagai santri pesantren kilat semasa Ramadan, ketika berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Tidak, sembilan, karena aku belum dikhitan.
Saat itu kami belajar beberapa hadis tentang doa-doa mustajab dan apa artinya. Ustaz Tajul yang mengajar.
Aku melihatnya pada hari itu.
Pasti dia telah meminta izin untuk beristirahat dan mungkin untuk tidur pada malam hari di masjid. Ustaz Zaki membiarkannya duduk bersandar di dinding belakang sementara kami merapal doa-doa di saf pertama depan mihrab.
Hari itu juga aku berbicara dengannya. Kulakukan karena tantangan dari Neza, gadis tercantik di sekolah-dengan seragam putih merah dan seringai menggoda, telah menyandang gelar primadona pada usia sembilan tahun-yang menantangku untuk berbicara dengan orang asing. Â Tetapi, jika bukan karena itu, mungkin aku takkan menjadi diriku yang sekarang. Aku punya kebiasaan berada di tempat yang salah pada waktu yang kurang tepat. Seorang anak yang mengembara dan disesatkan oleh orang dewasa.
Aku menyelinap meninggalkan kelompok kami dan berjingkat mendekatinya. Gelandangan itu duduk bersila dengan punggung menempel tembok. Matanya tertutup, benar-benar kotor dan bau busuk keringat dan matahari. Tapak kakinya pecah-pecah kapalan dan janggutnya compang-camping berantakan.
Aku berdiri sekitar dua meter dan mengawasinya, setengah ketakutan, setengah penasaran, sampai dia membuka matanya dan menatapku.
Setelah beberapa saat, aku bertanya dengan suara kecil, "Apakah kamu sedang berdoa, Pak?"
Dia terkekeh. Suara yang terdengar terlalu kasar dan membahana untuk masjid kampung yang kecil. Apalagi untuk kehidupan religiusku yang masih murni.
"Berdoa? Tidak, Nak. Aku tidak tahu bagaimana caranya berdoa."
Dia duduk dan mengamatiku.
"Siapa namamu, Nak?"
"Ahmad Naufal," kataku.
"Nah, Mamat. Kamu mau mendengarkan aku menceritakan sebuah cerita? Ini bukan macam cerita yang kamu dengar dari ustaz, tapi mungkin seharusnya begitu."
Gelandangan itu adalah orang pertama yang memanggilku Mamat, meskipun, ketika aku meninggalkan kampung halaman, aku menjadi Mamat selama sisa hidupku.
"Mau," kataku, duduk bersila dua meter darinya, meletakkan siku di atas lutut.
"Pernahkah kamu mendengar bahwa ada kapal yang membawa jiwa-jiwa orang mati menuju Neraka Bawah Tanah?"
Aku mengangguk. "Tapi bukan dari ustaz," kataku. "Aku baca dari buku."
"Sebenarnya, itu bukan kapal," katanya, "tetapi bus antar kota antar provinsi yang luar biasa mewah. Bus itu melaju ke tepi jalan tempat kita berdiri dan meminta kamu untuk melompat naik."
"Suatu hari, aku sedang berdiri di tepi jalan karena sesuatu yang buruk telah terjadi dan aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Bus yang sangat bagus ini berhenti tepat di depanku. Aku naik."
Mataku melebar.
"Di dalam," lanjutnya, "isinya lebih besar daripada yang tampak dari luar. Kita bisa ada berjalan hilir mudik di dalamnya. Penumpanganya terdiri dari banyak orang yang sangat penting."
"Mereka mengenakan setelan busana karya desainer ternama dan tas mewah, bahkan pakaian dalam saja harganya puluhan juta. Semua makanan terbaik, permainan, apa saja ada. Dan duduk di kursi pengemudi adalah Iblis."
"Apakah dia bertanduk?" aku bertanya.
"Ya, tapi awalnya aku tidak bisa melihatnya. Aku terlalu sibuk dengan hal-hal lain. Dan aku benar-benar menginginkan salah satu setelan busana karya desainer itu, jadi aku langsung menemui Iblis dan bertanya bagaimana supaya aku bisa mendapatkannya. Dia bilang aku bisa mendapatkan semua yang aku mau, asalkan aku ikut bersamanya kemanapun dia pergi."
"Bapak pergi ke Neraka?" tanyaku.
"Hampir saja," katanya. "Tetapi semakin banyak waktu yang kuhabiskan di bus antar kota antar provinsi super mewah itu, semakin aku menyadari betapa brengseknya orang-orang yang ada di situ. Tak satu pun dari mereka berteman satu sama lain, atau denganku. Meskipun mereka semua ada di sana, aku lebih kesepian dari sebelumnya. Dan aku menyadari bahwa aku masih belum berbahagia juga."
"Kenapa tidak?" aku bertanya.
"Aku masih memiliki masalah yang sama dengan yang kualami sebelum naik bus. Tidak ada yang aku lakukan di sana yang bisa mengubahnya. Kamu pernah mencoba minum minuman keras, Mat?"
Aku menggelengkan kepala.
"Bagus. Jangan sekali-kali kamu mencobanya." Dia diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Jadi akhirnya, aku bertanya kepada Iblis apakah boleh turun dari bus. Iblis meraung marah, dan saat itulah aku melihat tanduk dan taringnya: panjang, tajam dan menakutkan. Semua penumpang lain mengatakan bahwa aku harus ikut sampai ke terminal terakhir. Mereka mengatakan bahwa, jika aku keluar maka aku akan tersesat, dan tidak ada seorang pun di luar sana yang akan membantuku menemukan jalan kembali. Tidak setelah hampir sampai ke Neraka. Aku tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, kata Iblis."
"Karena Iblis tidak mau membukakan pintu bus mewah itu untukku, maka aku memecahkan kaca jendela dan melompat keluar melalui pecahan kaca sementara mereka berteriak-teriak. Aku jatuh terguling-guling di bawah tanah, di dalam liang gua yang dingin dan gelap. Entah berapa lama aku merangkak naik turun menyusuri lorong gua, sampai seluruh ototku sakit dan hampir tak mau diajak bekerjasama, dan akhirnya aku mencapai permukaan. Aku keluar seperti ini, "dia menunjuk pada dirinya sendiri," hanya dengan apa yang menempel di badan. Tapi itu sepadan, untuk keluar dari sana dan melihat sinar matahari."
Sebetulnya aku masih punya banyak pertanyaan untuknya, tetapi ustaz Tajul menemukanku dan menyeretku dengan menarik telingaku kembali ke kelompok, dan aku tidak pernah melihat pria itu lagi. Ustaz Tajul kemudian menjelaskan bahwa gelandangan itu diizinkan tinggal sementara di masjid karena katanya dia ingin mendapat kesempatan kedua. Masjid kampungku bukan baru sekali ini memberi para tunawisma tempat tinggal selama mereka tidak membuat masalah.
Aku tidak akan pernah melupakan lelaki gelandangan di Masjid Al Ikhlas, masjid kampungku
Aku selalu mengingat ceritanya saat aku iri pada teman dengan motor dan mobil mereka. Atau saat berada di suatu pesta dengan segelas minuman di tangan.
Aku paling sering mengingatnya ketika meluangkan waktu untuk memberikan uang kepada para gelandangan atau mendengarkan pengakuan teman-teman yang berada dalam situasi yang sulit, karena mengutuk orang lain atas kesalahan mereka adalah ciri khas Iblis.
Dan mungkin kelak ketika putraku sudah cukup besar, aku akan berkata kepadanya: "Pernahkah kamu mendengar bahwa ada kapal yang membawa jiwa-jiwa orang mati menuju Neraka Bawah Tanah? Sebenarnya itu bukan kapal, tapi bus mewah antar kota antar provinsi."
Bandung, 4 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H