"Di dalam," lanjutnya, "isinya lebih besar daripada yang tampak dari luar. Kita bisa ada berjalan hilir mudik di dalamnya. Penumpanganya terdiri dari banyak orang yang sangat penting."
"Mereka mengenakan setelan busana karya desainer ternama dan tas mewah, bahkan pakaian dalam saja harganya puluhan juta. Semua makanan terbaik, permainan, apa saja ada. Dan duduk di kursi pengemudi adalah Iblis."
"Apakah dia bertanduk?" aku bertanya.
"Ya, tapi awalnya aku tidak bisa melihatnya. Aku terlalu sibuk dengan hal-hal lain. Dan aku benar-benar menginginkan salah satu setelan busana karya desainer itu, jadi aku langsung menemui Iblis dan bertanya bagaimana supaya aku bisa mendapatkannya. Dia bilang aku bisa mendapatkan semua yang aku mau, asalkan aku ikut bersamanya kemanapun dia pergi."
"Bapak pergi ke Neraka?" tanyaku.
"Hampir saja," katanya. "Tetapi semakin banyak waktu yang kuhabiskan di bus antar kota antar provinsi super mewah itu, semakin aku menyadari betapa brengseknya orang-orang yang ada di situ. Tak satu pun dari mereka berteman satu sama lain, atau denganku. Meskipun mereka semua ada di sana, aku lebih kesepian dari sebelumnya. Dan aku menyadari bahwa aku masih belum berbahagia juga."
"Kenapa tidak?" aku bertanya.
"Aku masih memiliki masalah yang sama dengan yang kualami sebelum naik bus. Tidak ada yang aku lakukan di sana yang bisa mengubahnya. Kamu pernah mencoba minum minuman keras, Mat?"
Aku menggelengkan kepala.
"Bagus. Jangan sekali-kali kamu mencobanya." Dia diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Jadi akhirnya, aku bertanya kepada Iblis apakah boleh turun dari bus. Iblis meraung marah, dan saat itulah aku melihat tanduk dan taringnya: panjang, tajam dan menakutkan. Semua penumpang lain mengatakan bahwa aku harus ikut sampai ke terminal terakhir. Mereka mengatakan bahwa, jika aku keluar maka aku akan tersesat, dan tidak ada seorang pun di luar sana yang akan membantuku menemukan jalan kembali. Tidak setelah hampir sampai ke Neraka. Aku tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, kata Iblis."