Pocong melompat-lompat menyusuri pantai. (Sungguh, aku ingin memberitahu nama pantainya seperti yang tertera di Google Maps versi terbaru, tapi katanya tidak etis menyebutkan lokasi karena bisa menyinggung warga lokal. Buntutnya berupa tuntutan permintaan maaf di atas materai).
Saat itu awal musim kemarau. Dia memakai kacamata hitam dan topi lebar untuk menutupi kapas yang menutupi lubang-lubang di wajahnya. Tidak, dia bukan dari kesatuan. Bukan juga aparat.
Cuaca hangat, di hari musim kemarau tahun 80-an. Tepatnya 2084.
Pocong itu baru saja memulai liburan semester. Ya, Dia seorang guru seni di sekolah menengah setempat. Dia bermain gitar.
Burung camar melayang di sekitar tebing. Sekelompok tuyul bermain bola voli pantai di atas pasir. Pohon kelapa menjulang berjajar di pinggir pantai.
Pocong itu melompat tanpa peduli dunia atau bukan dunia.
Dia sebetulnya ingin berlibur ke pantai lain di pulau lain liburan itu, tetapi untuk saat ini dia puas hanya dengan bersantai di pantai terdekat.
Dia melompat melewati beberapa penjual lukisan di trotoar dekat lapak penjual kelapa muda. (Tadi aku menulis 'kepala muda', tapi segera kuganti).
Seorang kuntilanak menjual gambar impresionisme tentang seorang kuntilanak memegang lukisan impresionisme di trotoar lapak penjual kelapa muda bawah pohon kelapa yang menjulang dengan matahari bersinar di tangannya. (Yang 'ditangannya' adalah lukisan, Â bukan matahari).
Si Pocong terkesan. Dia melihat jin ifrit menjual gambar hitam-putih dari Bob Marley dan daun mariyuana. Dia terkekeh dan terus melompat. Di sepanjang pantai, berbagai makhluk gaib mengendarai ATV, menunggang kuda, berjemur, dan memasang tali pengikat. Pocong merasa pantai sebagai rumahnya.
Kemudian dia memutuskan untuk makan cumi bakar. Dia mengunjungi lapak seafood favoritnya: Awak Bangai. Dia memesan cumi bakar dan kerapu asam manis dan kelapa muda. Saat makan, dia melihat mural di reruntuhan benteng peninggalan penjajah. Salah satu artis grafiti lokal, "Gentuet Hayeu," melukis raptor genderuwo di dinding. Warna merah pecah dan pirus lazuli itu disandingkan dengan burung gagak.
Pocong itu sangat terkesan. Bisa ditebak, di jalan utama, terpampang mural Che Guevara di dinding wc umum antara pohon kelapa dan matahari terbenam. Dia tetap menyukai lukisan itu meski sebenarnya klise.
Selanjutnya, dia melihat mural karya seniman grafiti yang namanya tidak dapat dimengerti, tampak seperti "O3L" atau "BE7". Hurufnya merah-oranye bergerigi liar dan cadas. Di sisi tulisan itu ada tengkorak wanita dengan kacamata hitam. Di sebelah kanan ada kata "PEACE" yang ditulis dengan huruf biru metalik. Itu adalah potongan yang paling disukai favorit Pocong.
Setelah menghabiskan cumi bakar, kerapu asam manis, dan kelapa muda, Pocong mengeluarkan sebatang rokok kretek filter rendah nikotin dari sela-sela kain kafan dan melompat lebih dekat ke bibir pantai. Dia suka melihat ombak yang terhempas di pantai saat dia merokok.
Ia ingat saat SMA, sering kemping di pantai bersama teman-temannya. Semua temannya melanjutkan hidup mereka dan yang sudah tiada memiliki tanggung jawab sebagai pocong dewasa. Sebagian besar memiliki keluarga. Ada yang jadi koki. Ada yang jadi akuntan atau notaris. Beberapa guru seperti dia. Beberapa adalah monster bisnis. Segelintir menghilang dan tidak ingin ditemukan.
Akhirnya, Pocong membuang puntung rokoknya ke tengah ombak dan melompat ke mobilnya. Sesampainya di rumah, dia menulis lagu tentang harinya di pantai. Judulnya "Pocong di Pantai".
Bandung, 28 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H