Kurang dari satu menit setelah mengiriminya pesan WhatsApp, gawaiku berdering.
"Mereka pasti sudah kehabisan akal sampai menjejalkan semua orang di satu lantai."
Rani tak pernah membuang-buang waktu. Seperti biasa, tanpa basa-basi ketika dia yang menelepon. Dia jarang menyebutkan namanya atau bertanya apakah kamu baik-baik saja, langsung masuk inti persoalan yang mengisi benaknya.
"Hai," jawabku, "kupikir pesan yang kukirim akan menghiburmu."
Sebelumnya, aku mendapat telepon dari seorang temannya yang masih bekerja dengan mantan bosku, bos yang sama yang telah membuat Rani dan aku menyia-nyiakan hidup kami tiga tahun percuma.
Tampaknya kondisi berubah dari buruk menjadi lebih buruk.
Sudah lebih dari setengah karyawan di-PHK. yang tersisa bekerja bergantian shift sehari kerja sehari libur. Yang terakhir, karena kondisi ekonomi terbaru, mereka menjejalkan semua staf dan karyawan yang tersisa ke satu lantai di gedung yang bertingkat dua. Â Membiarkan lantai lain kosong meskipun masih ada dua puluh empat bulan lagi masa sewa.
"Kamu tahu dari siapa? Nola?" tanya Rani.
Tentu saja dari dia. Pengaturan baru menempatkan bagiannya, tepatnya yang masih tersisa, ke lokasi di samping tangga tempat Amir biasa duduk. Rupanya area kerja Nola sekarang yang kecil dan sempit sehingga punggungnya hampir bersentuhan dengan Narto yang duduk di belakangnya.
"Bahkan bos lama kita harus pindah juga. Kamu ingat berapa banyak koleksi barangnya, kan? Waktu kita masih di situ saja aku dikelilingi lemari arsipnya. Dinding di belakangnya ditutupi kotak-kotak berdebu, tingginya kurang sepuluh senti dari plafon."
Dia terbahak-bahak. "Aku ingat itu. Kamu sampai tidak kelihatan. Orang-orang tak tahu kalau kamu ada."