Matahari tak lagi bersinar sembunyi di balik awan. Hujan membuat langit berwarna abu-abu, nyaris putih dibandingkan dengan burung gagak di kusen jendela. Lebih banyak lagi burung gagak muncul ketika Samail menceritakan kisahnya. Begitu banyak sehingga tidak cukup ruang untuk mereka semua. Mereka mulai bertengger di pohon dan pagar.
Nina batuk lagi. Tisunya berubah merah.
“Aku lebih suka cerita barusan daripada yang pertama. Setidaknya tidak berakhir buruk," katanya terengah-engah. "Tapi mengapa Anda menceritakan kisah-kisah sedih padaku?"
Samail menatap Nina tanpa berkedip atau tersenyum. Tak pernah sekalipun berkedip atau tersenyum.
Dengan suara serak dan kering dia menjawab, "Aku pikir kamu tahu mengapa."
Nina menatap tisunya yang penuh noda darah. Dia tahu mengapa. Tapi dia tidak takut. Tidak.
Nina tahu bagaimana harus menjadi berani, dan tidak hanya untuk dirinya sendiri.
Dia menoleh ke Samail, wajah yang hangus dan penuh goresan yang tidak bisa dikenali sebagai manusia.
"Kapan?" Nina bertanya.
Samail menoleh ke jendela, ke arah gerombolan gagak hitam yang berkaok-kaok dengan ramainya.