Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng Hitam Putih (2)

11 Juni 2020   18:37 Diperbarui: 22 Desember 2020   23:10 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Sebelumnya .....]

Nina tidak tahu harus berkata apa. Meskipun lelaki yang terbakar itu cukup ramah, dia menakutkan. Dan Nina sendirian. Dia selalu sendirian. Dia tidak pernah bertemu orang asing sendirian, jadi dia memutuskan untuk membiarkan Samail tinggal. Selain itu, dia suka cerita. Bahkan andai yang diceritakan merupakan kisah terburuk sekali pun.

"Baiklah," katanya, "Anda boleh menceritakan sebuah kisah. Tapi Anda harus pergi sebelum ayah dan bunda pulang. Saya rasa mereka tidak akan menyukai Anda."

Nina menyebut Samail dengan 'Anda', bukan lagi 'kamu'. Nina punya kebiasaan menyebutkan nama lawan bicaranya, tapi dia merasa Samail nama yang aneh.

Samail menarik napas panjang yang terdengar bagai peluit kereta api. Asap ikut tersedot melalui lubang hidungnya. Dia mengangguk setuju.

"Dahulu kala, ada keluarga kelinci yang terdiri dari induk kelinci dan tiga anaknya yang masih kecil. Mereka tinggal di dalam lubang di tengah hutan. Mereka adalah keluarga kelinci yang bahagia.

Anak-anak kelinci melompat dan bermain sepanjang hari di bawah naungan rindangnya pepohonan atau di tingginya ilalang  padang rumput sementara induk mereka mencari makanan di hutan. Pada malam hari, mereka akan kembali ke dalam lubang dan meringkuk bersama dalam kehangatan.

Mereka tidak pernah khawatir tentang apa pun, karena selalu ada banyak makanan dan hal-hal menyenangkan untuk dilakukan, dan mereka selalu memiliki satu sama lain ketika mereka sedih atau takut.

Suatu hari, saat bermain di padang rumput, seekor serigala yang bersembunyi di semak-semak mendekati ketiga terwelu kecil yang tidak menyadari bahaya yang datang. Induk mereka keluar dari hutan tepat pada waktunya, tetapi terlalu jauh untuk memanggil anak-anaknya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menolong anak-anaknya dengan aman ke dalam lubang, dan bahkan jikapun bisa, sang serigala bisa mencegat arah larinya."

"Apa yang dia lakukan?" tanya Nina.

Samail mengangkat tangannya yang hangus kehitaman, memberi isyarat agar Nina sabar menunggu dan mendengarkan ceritanya sampai selesai.

"Induk kelinci harus segera mengambil keputusan yang sulit. Jika dia ingin anak-anaknya menjauh dari serigala, maka dia harus segera bertindak. Tetapi semua tindakan ada konsekuensinya. Dia tahu ini, tetapi dia juga mencintai anak-anaknya lebih dari ketakutannya pada serigala. Maka dia berlari keluar dari hutan secepat mungkin. Dia berlari ke arah serigala yang bersembunyi di rumput, dan ketika cukup dekat, dia berteriak kepada anak-anaknya "Lari, kembali ke lubang!"

Tiga kelinci kecil mendengar induk mereka dan mereka pun melihat kehadiran sang serigala. Namun, sang serigala tidak lagi tertarik dengan anak-anak kelinci. Dia lebih tertarik mengejar induk kelinci.

Induk kelinci berlari menjauhi hutan dan lubang, menjauhi anak-anaknya. Serigala terus mengejarnya. Kelinci-kelinci kecil itu berlari masuk ke dalam lubang dan selamat, tapi induk mereka tidak seberuntung itu. Sang serigala menangkapnya, merobek-robeknya menjadi beberapa bagian dan melahapnya hingga yang tersisa hanyalah tulang-belulang. Namun, anak-anaknya selamat, dan itu yang terpenting baginya."

Nina terdiam. Samail juga diam.

Akhirnya Nina berkata, "Itu adalah kisah yang menyedihkan."

Samail mengangguk. Dia juga tahu itu adalah kisah yang menyedihkan, tetapi kebenaran tidak membedakan kesedihan dengan kebahagiaan.

"Aku tidak suka induk kelinci harus mati," kata Nina lirih.

Samail mengertakkan giginya yang putih berkilau. "Dia bisa saja hidup, jika dia mau. Tapi apa yang akan terjadi pada anak-anaknya? Dia mati untuk menyelamatkan mereka, demi kebaikan dan masa depan anak-anaknya."

"Kurasa begitu, tetapi tetap saja menyedihkan bahwa mereka harus tumbuh tanpa induk mereka."

Nina menatap jendela. Kini ada dua ekor gagak hitam yang bertengger di sana. Salah satu dari mereka merentangkan sayapnya dan hinggap di sebelah yang lain. 

Aneh, pikirnya, tapi tak diucapkannya.

"Apakah kamu ingin mendengar cerita yang lain?" tanya  Samail. "Kita masih punya banyak waktu."

Nina tidak bisa menebak apakah Samail bahagia, sedih atau marah. Suaranya selalu datar saja satu nada. Mimik wajahnya juga tidak berubah.

Sebelum dia bisa menjawab, Nina batuk-batuk hebat. Batuknya panjang dan serak. Ketika batuk, dia menutup mulutnya dengan kertas tisu yang diambilnya dari kotak tisu di samping bantal. Setelah batuknya mereda, sekumpulan bercak darah menodai kertas tisu yang lembut.

"Aku sakit," katanya, menatap Samail. Samail mendekat dan duduk di dekatnya, begitu dekat sehingga Nina bisa menghitung giginya yang putih berkilau. Samail berbisik ke telinganya.

"Aku tahu."

"Apakah Anda punya cerita tentang orang sakit?" Nina bertanya. Pria yang terbakar itu kembali menganggukkan kepalanya.

"Tapi tidak berakhir bahagia juga."

"Tidak apa-apa," jawab Nina. "Aku akan tetap mendengarkan."

Samail meletakkan jari-jarinya yang kurus panjang di pangkuannya dan menarik napas berasap dalam-dalam.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun