Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Api Mainan

10 Juni 2019   14:31 Diperbarui: 10 Juni 2019   14:38 1772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.ilovealtoona.com

Saya sedang mengancing lengan kemeja kerja pagi itu, ketika teringat percakapan saya dengan seorang rekan di kantor sehari sebelumnya.

Saya mengatakan bahwa pria dewasa sungguh sia-sia bermain dengan kereta api mainan.

"Sungguh sia-sia," kata saya, "pria dewasa bermain dengan kereta api mainan."

Rekan itu menjawab bahwa laki-laki dewasa bukan hanya bermain dengan kereta api mainan, tetapi juga menghabiskan puluhan juta untuk kereta api mainan, berlangganan majalah tentang kereta api mainan, membuat video tentang kereta api mainan dan mengunggahnya ke internet, membentuk komunitas penggemar kereta api mainan dan mengadakan muktamar tahunan.

Rekan itu tertawa. Saya tidak.

Seharusnya masalah itu selesai dengan saya tidak ikut tertawa, tetapi nyatanya, keesokan paginya, saya kembali memikirkannya.

Setelah melihat sekilas ke cermin, saya menuju ke tempat kerja. Saya berencana untuk singgah di 5Sec untuk mencucikan pakaian kotor, tetapi saya lupa berbelok dan melewatkan tikungan karena masih memikirkan tipe pria yang bermain dengan kereta api mainan. 

Karena banyak kemeja kotor di kursi belakang, saya berputar dan kembali ke binatu. Saat itulah saya melihat papan nama toko hobi khusus mainan kereta api. Rekan itu tidak menyebutkan adanya toko kereta api mainan, padahal jaraknya hanya satu blok dari kantor kami. Sepertinya dia tidak ingin membuat saya marah.

Di kaca jendela ada dua tanda persimpangan kereta api. Merah dan kuning. Apa yang kemarin hanya imajinasi sekarang tepat berada di depan saya. Saya bukan tipe pria yang menyukai tantangan, tapi tanda OPEN adalah undangan yang sayang jika dilewatkan.

Saya mendorong pintu kaca dan terdengar siulan peluit kereta api.

Toko itu penuh dengan rak-rak yang memajang berbagai model kereta api. Di bagian belakang, dua pria duduk di kursi lipat sedang berdiskusi dengan serius. Ternyata tidak hanya majalah dan video dan komunitas, tetapi termasuk percakapan pagi hari di kursi lipat yang terbuat dari plastik dan besi.

Entah dari mana, tiba-tiba muncul pria ketiga. Dia mengenakan kaus oblong bergambar lokomotif uap dan bertanya apakah saya memiliki putra. Pertanyaan pribadi yang tidak pantas diajukan seorang pria dewasa kepada pria dewasa lain yang belum dikenalnya!

Saya mundur selangkah dan berbalik. Rak di depan saya terdapat model lokomotif kereta cepat berwarna biru merah dalam kotak oranye cerah. Segera saya tersadar bahwa dalam pikiran, saya sedang menyusun warna pelangi. Jiwa saya memberontak untuk kesekian kalinya.

Saya mulai berpikir lagi tentang rekan itu. Sungguh mencurigakan bahwa dia tahu banyak tentang tipe pria yang bermain dengan kereta api mainan. Begitu mencurigakan bagi saya, sehingga ketika suara peluit kereta berbunyi menandakan ada pelanggan lain masuk, saya sepenuhnya berharap bahwa ketika badan saya berbalik, saya akan melihat rekan saya itu mampir di Toko Hobi Khusus Kereta Api sebelum berangkat ke kantor.

Ternyata bukan dia, melainkan seorang wanita yang saya lihat berdiri di pintu masuk. Berambut kecoklatan, lebih muda dari saya, dan yang membuat saya menghembuskan napas lega, dia tidak mengenakan cincin di jarinya. Wanita paling menarik yang pernah saya lihat seumur hidup saya.

Dan saya melakukan kesalahan kedua hari itu. 

Kesalahan pertama adalah kesalahan berbelok.

Di sinilah saya, bersama tiga pria dewasa yang bermain dengan kereta api mainan. Bagaimana saya bisa berharap wanita ini akan mengira saya berbeda dari mereka?

Saya harus melakukan sesuatu. Dorongan hati saya adalah membeli toko itu dan merobohkannya. Tapi tidak cukup waktu untuk itu.

"Penipu!" Saya berseru tanpa berpikir. "Dasar pembohong!"

Saya mengabaikan tatapan terkejut dari para pria yang bermain dengan kereta api mainan dan bergegas keluar dari toko sambil menarik lengan wanita itu. Dia tidak melakukan perlawanan berarti, tapi segera menggeliat melepaskan diri begitu kami sampai di luar. Saya lalu bertanya mengapa dia datang ke toko kereta api mainan. Kehadirannya di sana mungkin merupakan kesalahan, tetapi pasti ada hubungan sebab-akibat yang mempertemukan kami.

Para pria yang bermain dengan kereta api mainan mengamati kami melalui jendela. Tatapan bingung wanita itu menuntut penjelasan dari saya, tetapi yang bisa saya pikirkan hanyalah satu kalimat ketika dia mundur menjauh dari saya: "Saya tidak seperti itu!"

Begitulah maksud saya. Jelas saya bukan tipe pria yang bermain dengan kereta api mainan. Tetapi bagaimana jika dia salah mengira saya sebagai pria yang menghabiskan uang puluhan juta, berlangganan majalah, membuat video, bergabung dengan komunitas dan mengikuti muktamar tahunan? Atau menyangka bahwa saya jenis lelaki yang berkelana dari toko ke toko untuk merundung wanita cantik dengan cara jahat?

Jujur saja, saya tidak yakin mana yang lebih buruk.

Selama berminggu-minggu kemudian, saya mengawasi toko kereta api mainan itu, menunggu wanita itu kembali.

Saat saya melihatnya, saya akan memberitahu dia bahwa saya tidak seperti yang dia pikirkan. Sama seperti dia, saya juga korban imajinasi.

Tak ada yang menakutkan tentang diri saya.

TAMAT

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun