Aroma hidangan seperti sate, rendang, semur dan gulai menjadi siksaan berat bagi Yah Cek Jalul. Desis bunyi daging dipanggang hanya memancing banjir air liur dari mulutnya yang setengah menganga.
Tetapi ketika akhirnya sup dikeluarkan untuk makan siang tamu-tamu yang semakin ramai berdatangan, Yah Cek Jalul mendapatkan kembali semangat hidupnya. Dia meninggalkan sofa dan bantal lalu tertatih-tatih menuju surga: sup buntut dan sumsum disajikan sebagai hidangan Idul Fitri.
Cucunya memberikan piring berisi nasi yang terendam kuah sup, karena pergelangan tangan Yah Cek Jalul nyeri oleh encok. Di tengah tumpukan nasi yang harum itu terdapat harta karun dambaan jiwanya: sepotong daging besar yang lembut membungkus tulang berisi sumsum yang empuk yang lezat.
Orang-orang sibuk  tertawa atau bergosip. Menggigit paha ayam atau menyendok kuah sayur lodeh yang membanjiri lontong dan ketupat. Piring-piring kosong segera saja berisi segala rupa makanan.
Yah Cek Jalul menyesap tulang sumsumnya. Intinya yang sebesar jempol bayi, berkilau seperti puding susu yang kental.
Dia mengisap dan menggigit, memegangnya kuat-kuat melupakan nyeri encok di pergelangan tangannya, mengetuk-ngetuk tulangnya di piring. Akhirnya, sumsum isi keluar dari rongga tulang lalu melayang terbang, mendarat di piring putri sepupu Yah Cek Jalul yang sedang bicara dengan istri sepupu lainnya sambil menyuapi nasi ke mulut anaknya.
Sumsum yang lembut itu berada dalam sendok untuk suapan berikutnya, meluncur melalui bibirnya, dan akhirnya ditelan dengan riang gembira oleh si bocah.
TAMAT
Ikhwanul Halim & Keluarga mengucapkan:
Â