Yah Cek Jalul telah mencapai usia yang suram: selera makan masih menggebu-gebu tapi sebagian besar gigi telah hilang.
Semasa mudanya, Yah Cek adalah pemuda yang penuh semangat dan cukup disegani, tapi dengan bertambahnya umur reputasinya yang menakutkan dikalahkan oleh kelemahannya sendiri. Jika dulu dia cukup puas bila mengalahkan semua orang dalam berdebat tentang apa saja, kini kesenangannya itu menguap karena pendengarannya bagai speaker jebol.
Kegembiraannya hari ini hanyalah jika dia dapat menyedot sumsum yang enak dari tulang berongga.
Yah Cek Jalul berasal dari cabang keluarga yang lebih miskin. Dia dan rombongan akan datang dengan bus reyot yang kursi penumpangnya rapat dan sudut sandarannya tegak sembilan puluh derajat mati menjepit dengkul untuk menghadiri perhelatan di rumah-sumah sepupu mereka yang lebih kaya. Dengan senang hati  mereka menerima risiko kram punggung dan paha setelah melakukan perjalanan selama sepuluh jam, dalam debu atau lumpur, untuk dapat hadir dan berpartisipasi dalam setiap acara pesta.
Tahun ini, sesuai perhitungan kalender Islam, Idul Fitri jatuh pada bulan Juni, ketika panas yang kejam sampai tiga puluh enam derajat celsius menyiksa hamba Allah yang mengamalkan ibadah puasa Ramadan di hari terakhir.
Keluarga Yah Cek Jalul --- putra, putri, dan dua generasi sesudahnya -- sudah mengepak pakaian terbaik mereka berikut hasil panen kebun yang tidak begitu menggembirakan, dan tiba di terminal bus kecamatan dua malam sebelum Idul Fitri. Didorong-dorong calo yang menumpuk mereka dengan riang ke salah satu bus untuk kemudian diguncang-guncang di jalan yang belum sepenuhnya selesai di aspal kembali. Yah Cek Jalul menggulung tubuhnya seperti kelabang mati dan tidur sepanjang jalan.
Semua orang suka berkunjung ke rumah sepupu Akbar.
Rumahnya terletak di komplek cluster besar di kota. Di komplek itu, penderitaan dan kekerasan di jalan-jalan di luar tak pernah mencapai penghuni di dalamnya. Rumput-rumput di perumahan itu  bersinar bagai zamrud sementara pohon-pohon palem di kiri-kanan jalan dalam komplek memberi kesan bahwa di sini adalah lokasi shooting sinetron negeri manca negara. Hanya saja, tersembunyi di balik tembok tinggi belakang komplek masih terdapat pemukiman kumuh nelayan lokal yang sering banjir oleh pasang purnama.
Keluarga Yah Cek Jalul selalu tiba tepat waktu untuk perayaan apa pun, sehingga mereka sempat mandi, bersalin pakaian dan tidur serta menampilkan wajah terbaik mereka. Sudah seharusnya saudara yang yang memiliki sedikit harta memberikan senyum dan pujian sebagai balas budi kepada saudara yang lebih kaya dus lebih dermawan.
Meja-meja panjang tempat berbagai aneka makanan dihidangkan di bawah tenda besar di halaman rumah Akbar. Yah Cek Jalul berbaring di sofa, kegiatan yang dinikmati sepenuhnya oleh adik bungsu kakek tuan rumah tersebut. Anak cucunya dengan senang hati membawakan bantal untuk menyangga kepalanya dan kemudian melarikan diri menghindari perintah susulan mengambilkan piring berikut isinya.