Mahfud mengendarai sepeda motornya dengan penuh kemarahan .
Mengendarai di bawah terik sinar matahari yang memanggang isi helm sudah cukup untuk menghanguskan rasa kemanusiaan siapa pun juga.
Mahfud berpikir tentang germonya. Bukan germo dalam pengertian yang sebenarnya. Itu hanya sebutan Mahfud untuk nyonya pemilik sepeda motor yang disewanya. Mahfud menganggapnya sebagai 'germo'. Setiap hari para tukang ojek wajib membayar setoran berdasarkan kesepakatan.
Pembayaran harian Mahfud adalah lima puluh ribu, tidak boleh kurang satu sen pun. Nyonya Germo tidak pernah mau mendengar alasan apa pun juga. Dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan mau menerima setoran kurang dari yang sudah ditetapkan, bahkan jika tukang ojek menyelamatkan Nora, putrinya yang cantik dari neraka.
Panas matahari siang itu seperti pintu neraka yang dibiarkan terbuka. Tentu saja Mahfud belum pernah ke neraka, dan dia tak pernah bercita-cita untuk jadi penghuninya.
Meskipun angin berkesiur saat dia melaju di jalan raya, badannya tetap saja basah kuyup oleh keringat. Sejak pagi baru terkumpul dua belas ribu dan sekarang sudah lewat tengah hari. Tanpa sadar dia melirik arloji di tangan kirinya, warisan ibunya sepuluh tahun lalu.
Jarum pendek yang menunjukkan angka enam dn jarum panjang pada angka dua belas seperti tanda seru yang mengingatkannya bahwa dia belum punya uang untuk mengganti baterainya.
Dia menghela nafas panjang ketika melihat seorang perempuan berbokong besar melambaikan tangan. Seorang anak kecil bersamanya. Bobot perempuan itu sangat mungkin akan membuat ban belakangnya gembos dan ingin mengabaikannya, tapi dompetnya yang tipis memaksa sepeda motornya melambat dan meluncur ke tepi.
"Tolonglah, saya tidak punya uang. Bisakah Abang mengantar saya ke Pasar Baru? Tuhan yang akan membayar kebaikan Abang."
Mahfud memandang tubuh gendut perempuan dengan tatapan kejam. Memangnya dia siapa?
Dia mendesis dan mengengkol starter dengan injakan keras dan melaju kencang berusaha mengiris kemacetan kota yang sibuk. Di satu titik, dia melihat seorang gadis sedang menyeberang di tengah jalan dan mengira gadis itu akan terus melangkah. Jadi, Mahfud tak mengurangi laju tunggangannya. Pada detik terakhir, dia terpaksa harus mengerem karena sosok itu tampak diam.
Decit suara roda menggesek aspal membuat orang-orang terkejut dan menoleh. Dia nyaris tertabrak mobil jika saja supir terlambat membanting stir ke kanan. Ternyata supir bukan hanya pintar mengendarai mobil, namun juga memiliki kosakata tak senonoh lengkap yang dilontarkannya ke Mahfud dengan suara membahana dalam satu tarikan napas:
"... Goblok! Haram jadah! Mampus aja lu, monyet!"
Dan mobil itu segera menghilang.
Mahfud menelan penghinaan yang melipatgandakan frustrasinya hari itu yang ditanak matang oleh panasnya matahari. Segera saja wajahnya berubah sadis dan dia menggeram bagai iblis.
Dia membuka mulutnya untuk melemparkan kemarahannya pada gadis yang menatapnya dengan mata berair. Mata gadis itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa dia pahami. Apakah itu ucapan terima kasih? Permintaan maaf? Atau keduanya?Â
Mahfud mengabaikannya karena dia tidak punya waktu untuk itu. Kata-kata mutiara ulangan dari pengemudi mobil barusan sudah berada di ujung lidahnya ketika gadis itu maju melangkah. Langkahnya yang tertatih-tatih terburu-buru, wajahnya meringis menahan sakit. Kakinya yang cacat terlihat saat dia melintas membuka jalur di depan Mahfud. Kemarahan di wajah Mahfud menghilang bagai air cucian di mesin pengering. Seseorang memungut kruk yang terjatuh di aspal dan memberikan pada gadis itu.
Mahfud menatap kakinya sendiri. Dia menatap sepeda motornya.
Ada banyak hal yang harus disyukuri, pikirnya dalam hati.
Dia mengangkat mukanya untuk melihat gadis itu yang tersenyum padanya.
"Silakan," kata Mahfud, mengangguk lembut.
Hanya tiga puluh detik, namun waktu terasa diam untuknya. Mahfud ingat dia menendang starter motornya untuk melanjutkan perjalanan. Ketika dia memutar gasnya, dia menyadari, dari arah berlawanan melaju sebuah mobil dengan kecepatan pesawat terbang hendak lepas landas.
Mahfud menoleh tepat pada waktunya untuk menyaksikan apa yang membuat telinganya nyaris tuli. Suara paling keras yang pernah didengarnya: Braaak!
Kruk itu melayang tinggi dalam gerak lambat, disusul 'Tuhan Yesus!' dari mulut gadis itu mengisi gelombang pendengaran.
Dia ikut merasakan dampak saat gadis itu menghantam kaca depan mobil tersebut. Tanpa sadar Mahfud mengaduh saat dia mendengar 'Tuhan Yesus!'.
Gadis itu jatuh dari kap mesin saat mobil itu terus melaju. Saat itu juga, sebuah mobil lain datang dari arah lain. Mahfud menutup wajahnya dengan kedua tangan saat mobil lain mendekat dengan sangat cepat. Rodanya akan menggilas leher gadis itu.
Mahfud memejamkan matanya. Dia segera membukanya kembali dan melihat mobil itu melenceng, hanya beberapa senti dari kepala si gadis, masih dengan kecepatan penuh. Pengemudi mobil bahkan tidak mengurangi kecepatan sama sekali.
"Alhamdulillah! Alhamdulillah Allahu akbar!" Mahfud bergumam dengan cepat, mengucapkan kata-kata terima kasih kepada pemilik Bumi dan Langit dan segala isinya, lalu dia memutar arah kembali ke tempat kejadian. Dalam beberapa detik, kerumunan orang-orang telah berkumpul mengerubungi korban.
Dia melihat seorang wanita mencoba berbicara dengan korban yang berlumuran darah di jalan. Kemudian wanita itu mengeluarkan gawai ke telinganya.Â
Mahfud terkejut melihat bahwa gadis itu masih bernapas.
"Allahu akbar!" Mahfud membisikkan takbir lagi dan lagi.
Orang-orang mencoba menghentikan kendaraan untuk membawa gadis itu ke rumah sakit, tetapi tak satupun mobil-mobil sudi menepi.
Mahfud menatapnya dan melihat rosario di leher gadis itu. Mahfud meraba tasbih di dadanya. Dia memikirkan tentang keseimbangan. Dia memikirkan germo, lalu teringat kembali pada apa yang baru saja dilihatnya.
Apa yang akan terjadi pada waktu, kehidupan, dan semua hal lain jika dirinya yang terbaring dengan darah mengalir seperti sungai dari kepalanya?
Perempuan yang sedang menelpon berteriak minta tolong entah pada siapa.
Mahfud menatap wajah gadis yang terbaring di aspal. Gadis itu balas menatapnya dan seulas senyum tipis bermain di bibirnya.
Mahfud membuat keputusan saat itu juga, bahkan jika itu adalah hal terakhir yang akan dia lakukan: berjuang untuk hidup gadis itu.
"Minggir! Minggir!" teriaknya, saat dia menuntun sepeda motornya ke sisi korban.
Senyum cerah gadis itu sepenuhnya mekar merekah.
Dan di bawah terik sinar matahari yang sempat menyiksa, pintu surga terbuka menyejukkan muka bumi.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H