O, harapan!
Jangan kalian pikir aku tak punya ambisi untuk dimuat di kolom sastra majalah terkenal, atau mungkin memenangkan suatu penghargaan, atau setidak-tidaknya dilirik kurator penerbit arusutama.
Apakah kamu sadar beban yang menghimpit karena harapan? Kami harus membuatmu terkenal, membuatmu kaya. Aku berharap kamu manusia akan berhenti mengatakan omong kosong 'Saya hanya ingin menulis'.
Aku tahu itu bukan yang kamu inginkan. Ingat, aku ada di pikiranmu ketika kamu menulisku. Aku tahu semua impianmu tentang perjalanan keliling negeri untuk mempromosikan novel trilogimu. Berjabat tangan dengan Ram Punjabi bahkan arwah Walt Disney saat penandatanganan kontrak pembuatan film berdasarkan novelmu, dan telpon tak putus-putus dari beberapa aktris yang memohon agar kamu menyebutkan nama mereka untuk peran di dalamnya. Dan kemudian kamu akan diminta datang ke negara-negara di mana novelmu telah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka untuk menghadiri 'Meet & Greet' dengan para penggemar yang bersusah payah memahami lisan bahasa inggrismu yang unbelieveable destroyed (luar binasa hancur)... Kamu dengan sabar tersenyum.
Aku bersamamu dalam mimpimu ketika kamu makan malam di tepian sungai Thames dengan JK Rowling. Jadi tolonglah, jangan sebut-sebut lagi: 'Aku hanya ingin menulis'!
Aku ditulis oleh seorang lelaki yang rendah hati bernama Ikhwanul Halim, atau setidaknya begitulah yang dia inginkan dunia melihatnya: "RENDAH HATI".
Ikhwanul Halim duduk setiap hari di depan laptop (seperti saat ini) menulis cerita sepertiku sebelum dia keluar dari khayalnya dan menemui kenyataan hidup. Selama dua sampai empat jam setiap hari dia hanya duduk dan menulis.
Aku takkan memberi tahu kamu namaku ('judul cerita', obsesi omong kosong dari penerbit di seluruh dunia) karena aku tak menyukainya.
Meskipun dia punya bakat -- sebenarnya aku tak perlu menjilat penciptaku sendiri --Â Ikhwanul tidak cukup waras ketika dia memberiku nama. Makanya dia punya gelar 'Penyair Majenun'.
Bahkan, mungkin dia terpaksa memberikan judul yang aku yakin telah menjadi penyebab kegagalanku dikenal banyak orang (aku belum pernah berkenalan dengan cerita lain yang dibuat Ikhwanul setelahku. Aku mulai curiga bahwa Ikhwanul mungkin sudah mati. Dia punya kecenderungan menulis tentang bunuh diri).
Ketika Ikhwanul Halim merasa dia sudah selesai membuatku, dia mengunggahku ke platform blogging dan menyimpan kloningku ke dalam arsip di laptopnya, lalu pergi ke kafe untuk ngopi-- kalau dia punya uang.